Mantan satpam KPK Iwan Ismail didorong untuk bersuara lebih kencang soal heboh bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berada di salah satu meja kerja jaksa KPK. Di sisi lain, Iwan sendiri jadi ikut-ikutan dicap Taliban.
"Kami ingin Iwan Ismail menuntaskan surat terbukanya untuk mencari keadilan dan lepas dari stigma Iwan Taliban. Jangan sampai cerita Iwan Ismail hanya menjadi desas-desus, karena isi surat terbuka itu mempengaruhi psikologi persatuan dan keamanan bangsa," ucap Wiryawan selaku Ketua Umum PP Hikmahbudhi dalam keterangannya, Rabu (13/10/2021).
PP Hikmahbudhi merupakan organisasi mahasiswa Buddhis ekstra kampus. Wiryawan mengaku mendukung Iwan untuk menghapus stigma 'Iwan Taliban' dan mendapatkan pengkajian kasus ulang di KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak melihat agama apa yang dipeluk Iwan Ismail, keberanian Iwan adalah bagian dari agama Buddha dalam menegakkan kebenaran, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Publik perlu diberi informasi sebenarnya bukan sekedar perdebatan," ucap Wiryawan.
"Kami menyarankan Bapak Kapolri untuk mengundang beliau untuk mendengarkan pandangan yang sebetulnya tentang bagaimana kejadian di internal KPK. Bahkan alangkah baiknya Bapak Presiden harus mengundang juga satpam tersebut ke Istana untuk mendengarkan bagaimana keluh kesah yang terjadi di internal KPK," imbuhnya.
Donasi untuk Iwan
Selain itu Sekjen PP Hikmahbudhi Ravindra membuka donasi untuk Iwan. Alasannya Iwan telah kehilangan pekerjaan tetap dan kini pekerja kontrak sehingga terjadi penurunan kualitas ekonomi Iwan.
"Iwan itu rakyat biasa, tapi ia berani terus bersuara. Kawan-kawan, Tuhan kita bisa saja berbeda, tapi kami yakin kita semua diajarkan merawat kebenaran dan mendorong keadilan. Mari berdonasi untuk saudara kita Iwan Ismail," ucapnya.
"Waktu berdonasi di Platform KitaBisa.com ini hanya bersisa 11 hari lagi, karena kami pun harus menempuh proses komunikasi dengan Iwan Ismail atas niatan ini sehingga akhirnya diumumkan. Kami memahami bahwa situasi Pandemi COVID-19 ini berat bagi seluruh masyarakat Indonesia, tapi usaha ini tetap akan dilakukan untuk memberi peluang baru bagi Iwan Ismail," imbuhnya.
Sebelumnya heboh bendera mirip HTI ini bermula dari beredarnya surat terbuka seorang bernama Iwan Ismail yang mengaku dipecat KPK sekitar 2 tahun lalu. Iwan mengaku saat itu bekerja sebagai pegawai tidak tetap di KPK di bagian pengamanan atau singkatnya sebagai petugas satpam.
Iwan Ismail mulai bekerja pada 14 November 2018 dan mengikuti pelatihan pengelolaan rumah tahanan dan pengawalan tahanan. Saat itu dia mengaku melihat bendera putih dengan tulisan hitam yang disebutnya sebagai bendera HTI di meja kerja pegawai KPK di lantai 10 Gedung Merah Putih.
Waktu berlalu hingga 20 September 2019 ketika KPK digoyang isu 'Taliban', Iwan Ismail mengaku mendapati bendera yang sama dan memotretnya. Iwan Ismail mengaku akan melaporkan temuannya itu, tetapi terlebih dahulu menyebarkannya ke grup WhatsApp Banser Kabupaten Bandung. Iwan Ismail sendiri mengaku sebagai anggota Banser.
Selepasnya foto yang diambil dan disebarkan Iwan Ismail menjadi viral. Buntutnya Iwan Ismail diadili secara etik oleh Pengawas Internal (PI) KPK karena saat itu Dewan Pengawas (Dewas) KPK belum dibentuk. Iwan Ismail dinyatakan melanggar kode etik berat dan dipecat.
Penjelasan KPK
KPK sudah memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menerangkan tindakan yang dilakukan mantan petugas satpam KPK tindakan ilegal.
Ali mengatakan pegawai tersebut sengaja menyebarkan hoaks ke pihak eksternal sehingga memperburuk citra KPK. Dengan itu, pegawai tersebut dinyatakan melakukan pelanggaran berat, sesuai dengan pasalnya.
"Sehingga disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK," kata Ali.
"Perbuatan-perbuatan ini termasuk kategori Pelanggaran Berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK," tambahnya.
Pemilik Meja Bukan Bagian dari 57 Eks Pegawai
Mantan pegawai KPK, Tata Khoiriyah, buka-bukaan soal foto yang disebut sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di KPK. Tata menyebut bendera itu berada di meja pegawai yang bukan bagian dari 57 orang yang dipecat gara-gara tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Pemilik meja yang ada benderanya diperiksa juga oleh Pengawas Internal KPK. Bahkan Ia diperiksa juga oleh instansi asalnya. Dicari juga kronologi kenapa bisa bendera tersebut masuk dan tersimpan di meja tersebut. Pemilik meja juga diperiksa sama dengan Mas Iwan apakah memiliki keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu? Dan kesimpulannya pemilik meja tidak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu," kata Tata dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebook-nya, Minggu (3/10/2021).
Dia mengatakan, Iwan dipecat karena dinyatakan bersalah masuk ruang kerja yang bukan menjadi ranah kewenangannya. Serta terbukti dengan sengaja, tanpa hak menyebarkan informasi tidak benar.
"Mas Iwan ini dinyatakan bersalah atas: masuk ruang kerja yang bukan menjadi ranah/kewenangannya, terbukti dengan sengaja dan tanpa hak telah menyebarluaskan informasi tidak benar kepada pihak eksternal. Menuduh orang terlibat HTI tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu. Di samping itu, Mas Iwan sendiri tidak profesional, apabila ia memiliki dugaan atas pelanggaran etik lewat bendera tersebut, harusnya ia melaporkan ke atasan langsung. Namun yang dilakukan olehnya adalah menyebarluaskan ke publik," ucapnya.
Tata mengatakan Iwan saat itu dinyatakan bersalah karena foto disebar tanpa ada klarifikasi, termasuk tanpa ada penjelasan dari pemilik meja yang ada benderanya. Setelah diperiksa oleh pengawasan internal, Iwan dinyatakan bersalah.
"Bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK," tuturnya.
(dhn/fjp)