Protes Kepala Sekolah, Siswa Belajar di Rumah Adat Desa
Minggu, 16 Apr 2006 22:03 WIB
Ambon - Biasanya rumah kepala desa di Maluku adalah rumah adat. Rumah adat ini juga hanya menyelenggarakan aktivitas yang bersifat adat. Kondisi ini lain dengan yang terjadi di desa Asilulu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.Sebanyak 78 siswa terpaksa belajar di rumah adat desa itu. Kondisi ini sudah enam bulan lamanya terjadi sebagai akibat polemik penetapan kepala sekolah SMUN 4 Leihitu Maluku Tengah."Para orang tua siswa menolak kepala sekolah yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Mereka juga melarang sekolah di bangunan SMA itu," kata salah satu guru honor Ahmad Ely ketika ditemui detikcom Minggu (16/4/2006).Para siswa pun terpaksa harus belajar di teras rumah adat desa dengan sarana dan prasarana sangat terbatas. Pantauan detikcom, sebanyak 78 siswa SMA Negeri 4 Leihitu, Maluku Tengah hingga Sabtu (15/4/2006) masih mengikuti pelajaran di teras rumah adat Kepala Desa Asilulu.Teras rumah digunakan siswa dari kelas I hingga kelas III secara bergantian. Akibatnya, jam pelajaran siswa pun tidak sesuai dengan waktu pelajaran sekolah pada umumnya.Siswa Kelas I dan II menggunakan teras bagian bawah untuk belajar pada pagi hari, sedangkan siswa Kelas III dari Jurusan IPA dan IPS belajar di teras bagian atas setelah siswa kelas I dan II pulang. Teras rumah kepala desa digunakan secara bersama tanpa penyekat ruangan. Selain terganggu suara guruh dari kelas lainnya, siswa juga terganggu oleh aktivitas masyarakat yang jelas terlihat.Fasilitas belajar siswa sangat tidak memadai. Di tempat tersebut hanya tersedia dua papan tulis dan kursi-kursi plastik sebagai tempat belajar siswa tanpa ada meja untuk belajar. Setiap pergantian kelas, para siswa harus memindahkan kursi-kursi plastik yang digunakan siswa kelas sebelumnya. Bahkan kursi yang diduduki para siswa adalah kursi milik siswa sendiri yang dibawa saat aktivitas belajar dimulai."Siswa belajar di teras rumah kepala desa sejak bulan Januari lalu," tambah Ahmad Ely.Terpisahnya tempat belajar ke-78 sisiwa tersebut terjadi sebagai bentuk penolakan Kepala SMA Negeri 4 Leihitu yang ditunjuk Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Sebagian warga masyarakat menghendaki agar yang menjadi kepala sekolah tersebut Musa Mamang. Karena itu, para orang tua melarang anak mereka untuk belajar di gedung SMA Negeri 4 Leihitu yang sebenarnya.Menurut Musa Mamang, SMA Negeri 4 Leihitu yang terletak di Negeri (desa adat) Assilulu sebelumnya merupakan kelas jauh SMA Negeri 1 Leihitu di Hila yang memanfaatkan gedung sebuah SMP yang ada di desa tersebut. Sekolah tersebut dirintis oleh Musa dengan dibantu sejumlah pengajar lainnya.Setelah kelas jauh tersebut resmi menjadi SMA Negeri 4 Leihitu pada 2005 lalu, Musa dijanjikan akan diangkat menjadi kepala di sekolah tersebut. Namun, secara tiba-tiba penunjukkan Musa sebagai kepala sekolah dibatalkan dan digantikan dengan salah satu kerabat pejabat di Maluku Tengah.Perubahan penunjukan kepala sekolah tersebut membuat sebagian warga Asilulu marah. Karena itu, mereka melarang anak-anaknya untuk belajar di gedung sekolah yang sebenarnya. Para siswa yang sebagian besar perempuan itu pun terpaksa harus menuruti perintah orang tua mereka.Pengajaran kepada siswa di teras rumah kepala desa tersebut dilakukan oleh Musa beserta sejumlah guru honorer lainnya.Pemerintah Kecamatan Leihitu dan Kabupaten Maluku Tengah sebenarnya telah berusaha menyelesaikan masalah itu dan berharap siswa kembali ke sekolah asal mereka. Namun karena belum dicapai kesepakatan yang memuaskan, para orang tua tetap melarang anak mereka untuk belajar di tempat yang sah. Sikap sebagian orang tua yang memaksa anak-anak mereka untuk belajar di teras rumah kepala desa ternyata tidak disetujui oleh warga masyarakat lainnya. Menurut Ali Ely, akibat pertikaian antara para orang tua, anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan yang layak justru menjadi korban. Terlebih lagi, saat ini terdapat 34 siswa kelas III yang sebentar lagi menghadapi ujian akhir. Karena itu, Ali berharap segara dicari solusi yang terbaik dengan mengutamakan kepentingan siswa.
(ahm/)