Terdapat perbedaan usulan jadwal Pemilu 2024 antara pemerintah dan KPU RI. Pemerintah mengusulkan pemilu digelar pada 15 Mei 2024, sementara itu KPU RI mengusulkan dua opsi terkait dengan waktu Pemilu 2024, misalnya jika Pemilu 21 Februari 2024 maka Pilkada diusulkan 27 November 2024, usulan kedua bila Pemilu digelar 15 Mei 2024 maka Pilkada diusulkan digeser ke 19 Februari 2025.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini angkat bicara terkait polemik penetapan jadwal Pemilu 2024. Menurut Titi, sejatinya KPU, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, memiliki wewenang menetapkan jadwal pemilu.
"Kalau kita rujuk pada aturan formal yang ada, sebenarnya KPU punya otoritas untuk menentukan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara dituangkan atau diputuskan dalam bentuk keputusan KPU. Jadi Pasal 167 ayat 2, UU 7 tahun 2017 yang menyebutkan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU," kata Titi dalam diskusi bertajuk Jadwal Rumit Pemilu 2024, yang disiarkan secara daring, Sabtu (9/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titi mengatakan sejatinya KPU memang perlu mendengarkan perspektif pemerintah dan DPR karena anggaran pembiayaan penyelenggaraan pemilu masih bersumber pada APBN. Kemudian dalam mempertimbangkan jadwal pemilu juga harus mempertimbangkan situasi sosial-politik, hari raya keagamaan, dan cuaca.
Selain itu Titi menilai KPU juga mempertimbangkan beban saat menyelenggarakan Pemilu 2024 yang berdekatan dengan pilkada sehingga mengusulkan dua opsi terkait jadwal Pemilu 2024. Sebab, menurutnya, pelaksanaan pemilu itu lebih pada persiapan teknis.
"Untuk menyelenggarakan pemilu yang berkualitas dalam perspektif teknis yang dipahami oleh KPU, ya kalau mau pilkadanya November 2024, maka pileg-pilpres nya 21 Februari. Tapi, kalau mau 15 Mei bukan tidak mungkin asal pilkadanya tidak di November, tapi 19 Februari 2025. Itu pertimbangan dari institusi yang bisa kita percaya, mereka menguasai permasalahan teknis, melakukan evaluasi atas praktik 2019, mereka menghitung kalau implikasi atau risiko kalau tentang tahapan terlalu besar dan menumpuk dan mempengaruhi kredibilitas dan profesionalisme petugas penyelenggara dan tidak kelelahan," kata Titi.
"Poinnya kita tidak mau berpemilu dan berpilkada sekadar menyelenggarakan pemilu dan pilkada. Kita mau pemilu dan pilkada sesuai amanat konstitusi yang luber, jurdil, dan demokratis, dan aspek teknis adalah penting," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif NETGRIT, Ferry Kurnia, mendukung dua opsi yang disampaikan KPU terkait jadwal Pemilu 2024. Menurutnya, KPU pasti telah menghitung beban kerja berdasarkan pengalaman Pemilu 2019, menghitung setiap tahapan pemilu, menghitung lamanya proses penyelesaian sengketa, serta jangan sampai berbenturan dengan pilkada.
"Bahwa misalnya KPU mengajukan usulan 15 Mei, dan ada opsi bahwa pilkada itu ditunda untuk sampai Februari itu saya pikir make sense. Jangan sampai nanti berbenturan. Pengalaman 2019 itu adalah soal beban kerja yang luar biasa. Jangan sampai ini juga terjadi, apalagi nanti ada tabrakan tahapan," kata Ferry.