Tanggapan Sejarawan
Sejarawan BRIN Asvi Warman Adam merespons pernyataan ini. Mengutip sejarawan Prancis, Asvi menguatkan pernyataan Didi.
"Tahun 1970 Bung Karno meninggal. Jacques Leclerc, sejarawan Prancis, mengatakan bahwa Bung Karno dibunuh dua kali. Pertama Bung Karno meninggal tahun 1970. Tahun 1970 peringatan Hari Lahir Pancasila dilarang Kopkamtib," ungkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asvi juga pernah bertanya kepada dokter Kartono Mohammad apakah Sukarno dibunuh secara perlahan. Untuk diketahui, Kartono merupakan dokter yang pernah bertemu dengan Dr Wu Jie Ping, yang pernah merawat Sukarno pada 1965. Kartono menjelaskan bahwa Bung Karno tidak dirawat sebagaimana semestinya saat di Wisma Yasoo.
"Saya tanyakan kepada dokter Kartono Mohammad (alm), apakah betul Bung Karno dibunuh secara perlahan di Wisma Yasso. Jawab Kartono, 'Bung Karno tidak dirawat sebagaimana semestinya'," tuturnya.
Asvi juga bicara soal Wisma Yasoo. Dia mengatakan tempat yang dulunya Wisma Yasoo berubah menjadi Museum Satriamandala di era Orba.
"Yaso (atau Yasoo, red) itu nama adik dari Ratnasari Dewi Sukarno yang sudah meninggal. Tempat tinggal istri Bung Karno, Dewi Sukarno. Kemudian diambil alih Orba dan dijadikan Museum Satriamandala, sekaligus Pusat Sejarah ABRI," ujar Asvi.
Perawatan Miris
Cerita perawatan kesehatan Bung Karno di sisa hidupnya ini juga diungkap oleh Asvi dalam tulisan berjudul 'Beda Perawatan Soeharto dengan Sukarno'. Tulisan ini terhimpun dalam buku 'Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto' suntingan FX Baskara Tulus Wardaya.
Diceritakan dalam buku itu bahwa sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam 'karantina politik' dan tinggal paviliun Istana Bogor. Bung Karno kemudian dipindahkan ke peristirahatan 'Hing Puri Bima Sakti' di Batutulis, Bogor.
Melihat kondisi ini, putri Bung Karno, Rachmawati, menemui Soeharto di Cendana untuk meminta agar ayahnya dipindahkan ke Jakarta. Pada awal 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yasoo di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satriamandala).
"Sukarno mendapat perawatan seperti pasien di rumah sakit, dalam arti diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari, serta jumlah air kencing selama 24 jam," tulis Asvi.
"Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Selain itu, Bung Karno hanya dilayani oleh seorang dokter umum (dr Sularjo). Bung Karno tidak pernah mendapat penanganan khusus dari dokter spesialis," lanjutnya.
Ketika kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono, guru besar Universitas Indonesia, sempat menceritakan kepada dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh 'dokter yang berpangkat tinggi'.
Sementara itu, menurut catatan perawat, obat yang diberikan kepada Sukarno adalah vitamin B12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang sebenarnya madu).
"Kalau sakit kepala diberi Novalgin, sesekali, kalau sulit tidur, Sukarno diberi tablet Valium," lanjutnya.
Selain itu, Asvi menjelaskan tekanan darah Bung Karno saat itu relatif tinggi, yakni 170/100. Tetapi ia tidak diberi obat untuk menurunkan tekanan darahnya itu. Juga tidak tercatat obat untuk melancarkan kencing ketika Bung Karno mengalami pembengkakan.
"Ketika kesehatan Sukarno semakin kritis, pipinya kelihatan bengkak, gejala pasien gagal ginjal, Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto itu sempat beredar kepada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan diinterogasi di markas CPM Guntur, Jakarta," tutur Asvi.
Bung Karno harus menanggung beban sakitnya itu sampai ia mengembuskan napas terakhirnya pada 21 Juni 1970.