Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid prihatin dengan meningkatnya kejahatan terhadap anak, termasuk selama masa pandemi COVID-19. Ia lantas meminta aparat penegak hukum lebih sensitif dalam memproses dan menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Pasalnya, merujuk pada data Komnas Perlindungan Anak bahwa pada periode Maret 2020 hingga Juni 2021 setidaknya ada 2.726 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah tersebut, 52 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.
"Banyaknya kasus semacam ini sangat mengkhawatirkan," ujar HNW dalam keterangannya, Rabu (29/9/2021). Hal ini dia ungkapkan dalam seminar perlindungan anak yang diselenggarakan oleh (Kemen PPPA) di Jakarta, Selasa (28/9).
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai penerapan sanksi terberat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak belum berjalan secara maksimal. Akibatnya, angka kejahatan seksual terhadap anak terus meningkat.
Oleh karenanya, HNW mendesak pemerintah untuk meningkatkan status, kewenangan, peran dan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) agar lebih maksimal dalam melakukan perlindungan anak.
"Usulan ini sudah sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI yang salah satu tugasnya mengurusi bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak," jelasnya.
Diketahui, peraturan perundangan di Indonesia, mulai dari konstitusi, terutama Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 sudah memuat aturan perlindungan terhadap anak. Ada pula UU Perlindungan Anak yang memuat beragam sanksi berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
UU Perlindungan Anak juga sudah diubah sebanyak dua kali untuk mengakomodasi beberapa sanksi yang berat. Terutama dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Empat tahun kemudian, pemerintah telah menerbitkan aturan pelaksanaanya, yakni Peraturan Pelaksana No. 70 Tahun 2020.
Sanksi berat, kata HNW, sudah tersedia dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan sanksi pidana mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga sudah disediakan.
Dalam aturan tersebut, hukuman pidana mati diberikan apabila menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia.
"Meski saya mengusulkan agar sanksi pidana mati seharusnya diatur lebih luas dari ini, tetapi aparat penegak hukum sudah memiliki dasar hukum dalam menjatuhkan sanksi yang paling berat ini," ujarnya.
Selain itu, kata dia, ada pula berbagai sanksi pidana tambahan berupa kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, pengumuman identitas pelaku, hingga pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi mereka.
"Kami di DPR sudah menyetujui sanksi-sanksi ini. Jadi sudah seharusnya penerapannya bisa segera dilakukan oleh aparat penegak hukum di lapangan," pungkasnya.
Sebagai informasi, seminar tersebut dihadiri oleh para penggiat keluarga dari Rumah Keluarga Indonesia (RKI). Selain itu, hadir pula Dr. Margaretha Hanita dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta, serta Anggota DPRD DKI Jakarta sekaligus Pembina Rumah Keluarga Indonesia Israyani.
(akd/ega)