Patung-patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution di Markas Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat, dibongkar. Pembongkaran ini merupakan inisiatif mantan Panglima Kostrad (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
Soeharto, Sarwo Edhie, dan Nasution termasuk tiga tokoh kunci dalam pemberantasan PKI yang dituding sebagai dalang gerakan G30S tahun 1965. Cerita ketiga tertuang dalam buku buku 'Sarwo Edhie dan Peristiwa 1965' oleh tim Buku TEMPO.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
G30S, yang melibatkan beberapa pentolan PKI, dianggap sebagai sebuah kudeta di tubuh Angkatan Darat dan pemerintahan Sukarno. Peristiwa 55 tahun lalu itu menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Kudeta gagal itu menyebabkan gugurnya sejumlah perwira tinggi AD. Jenderal TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi) dan Mayjen TNI Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik) gugur ditembak saat diculik di rumah dinasnya. Sementara itu, Jenderal TNI Abdul Haris (AH) Nasution berhasil meloloskan diri walau kakinya terkena peluru.
Usai gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirimkan perintah kepada Soeharto, Martadinata, dan Joedodihardjo. Sebab, dia yakin saat itu Presiden Sukarno sudah diculik. Dia meminta ABRI memulihkan keamanan. Nasution tiba sekitar sore hari di markas Kostrad. Di sana ia mendapatkan pertolongan pertama usai kakinya tertembak. Setelah keadaan Jakarta aman, Soeharto dan Nasution membahas situasi darurat ini.
Simak video 'Gatot Sebut PKI Gaya Baru Sudah Menyusup ke TNI':
Langkah Pemberantasan PKI
Selanjutnya, kisah pemburuan anggota dan pimpinan PKI oleh Sarwo Edhie Wibowo dimulai pada 1 Oktober 1965. Ia didatangi oleh Mayor Subardi, yang tidak lain adalah ajudan Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Di sana, Sarwo Edhie mendengar semua cerita tragis yang menimpa Jenderal Yani. Segera ia mengumpulkan para perwira di rumahnya untuk menghadap secara bergantian. Bahkan, untuk memastikan kekuatan, ia juga menarik seluruh pasukan yang sedang mengikuti latihan upacara peringatan Hari ABRI di Senayan.
Setiba di lokasi, para perwira membentuk pertahanan di jalan Jakarta-Bogor. Mereka pun menunggu berita melalui Radio Republik Indonesia dan hasilnya ada Gerakan 30 September atau G30S/PKI dan pembentukan Dewan Revolusi yang artinya terjadi kudeta.
Mendengar hal itu, Kapten Herman Sarens Sudiro datang dan membawa surat ke hadapan Sarwo Edhie yang ditulis oleh Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Sarwo Edhie Wibowo dan Herman pun menemui Soeharto di Markas Kostrad. Di sana, mereka membahas situasi dan pengamanan tempat-tempat vital. Walaupun belum ada perintah dari Soeharto, Sarwo Edhie meminta agar pasukannya menuju ke Kostrad.
Mereka pun merebut Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menyiarkan berita. Begitu pula Bandara Halim Perdanakusuma yang disinyalir sebagai pusat latihan para anggota PKI.
Setelah proses penemuan jenazah para jenderal di Lubang Buaya, Sarwo Edhie pun bertugas memburu seluruh anggota dan kader PKI. Ia berkeliling Jawa dan Bali berbulan-bulan lamanya.
Perburuan ini tak lepas dari keikutsertaan pemuda Nahdlatul Ulama (NU). Sarwo Edhie Wibowo diketahui juga melatih para pemuda NU sebagai ujung tombak operasi penangkapan basis-basis PKI.
Patung Soeharto dkk di Kostrad
Guna mengenang situasi darurat pada saat itu, patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution dibuat di markas Kostrad. Belakangan, ketiga patung itu sudah tidak ada lagi.
Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo mengaitkan hilangnya patung Soeharto serta patung tokoh-tokoh militer terdahulu dari Markas Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat, dengan penyusupan paham komunisme di tubuh TNI. Kostrad memberikan penjelasan bahwa pembongkaran patung merupakan inisiatif mantan Panglima Kostrad (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
"Bahwa tidak benar Kostrad mempunyai ide untuk membongkar patung Pak Harto, Pak Sarwo Edhie, dan Pak Nasution yang ada dalam ruang kerja Pak Harto di Museum Dharma Bhakti di Markas Kostrad," ujar Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana dalam keterangan, Senin (28/9/2021).
Azmyn Yusri Nasution merupakan penggagas pembuatan patung Soeharto dkk. Pembuatan patung dilakukan kala Azmyn Yusri Nasution menjabat Pangkostrad, sejak 9 Agustus 2011 hingga 13 Maret 2012.
Selanjutnya, Azmyn Yusri Nasution berinisiatif menemui Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman untuk meminta izin membongkar patung-patung tersebut.
"Letnan Jenderal TNI (purn) Azmyn Yusri Nasution meminta untuk patung-patung yang telah dibuatnya untuk dibongkar demi ketenangan lahir dan batin, sehingga pihak Kostrad mempersilakan," sambung Haryanta.
Dudung Abdurachman sendiri angkat bicara terkait pembongkaran patung itu. Dudung menyebut Azmyn Yusri Nasution merasa berdosa karena membuat patung Soeharto dkk.
"Kini patung tersebut, diambil oleh penggagasnya, Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang meminta izin kepada saya selaku Panglima Kostrad saat ini. Saya hargai alasan pribadi Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang merasa berdosa membuat patung-patung tersebut menurut keyakinan agamanya. Jadi, saya tidak bisa menolak permintaan yang bersangkutan," tutur Dudung.
Dudung menepis jika pengambilan patung itu disimpulkan TNI melupakan peristiwa G30S/PKI. Dudung menegaskan pihaknya tak pernah melupakan peristiwa itu.
"Jika penarikan tiga patung itu kemudian disimpulkan bahwa kami melupakan peristiwa sejarah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, itu sama sekali tidak benar. Saya dan Letjen TNI (Purn) AY Nasution mempunyai komitmen yang sama tidak akan melupakan peristiwa terbunuhnya para jenderal senior TNI AD dan perwira pertama Kapten Piere Tendean dalam peristiwa itu," kata Dudung.