Upaya menggugat AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung dibenarkan oleh advokat Yusril Ihza Mahendra. kantor hukum Yusril dan Yuri Kemal Fadlullah, IHZA&IHZA LAW FIRM SCBD-BALI OFFICE, digandeng empat orang eks kader Partai Demokrat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terkait uji formil dan materiil Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Lantas bisakah AD/ART partai politik digugat ke MA? Yusril memastikan hal itu bisa dilakukan.
Dalam keterangan resminya, Kamis (23/9/2021), Yusril dan Yuri mengatakan langkah menguji formil dan materiil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya mendalilkan Mahkamah Agung berwenang menguji AD/ART parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik.
"Nah, kalau AD/ART parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?" kata Yusril.
Yusril mengatakan memang ada kevakuman hukum terkait uji materil AD/ART partai politik. Pasalnya, kata dia, Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai dan Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai tidak berwenang menguji AD/ART.
Tak hanya itu, Yusril bahkan menyebut Pengadilan TUN sekalipun juga tidak berwenang mengadili hal itu karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas putusan tata usaha negara. Atas dasar itulah, Yusril akhirnya menyusun argumen berkaitan dengan polemik AD/ART ini.
"Karena itu, saya menyusun argumen--yang insyaallah cukup meyakinkan--dan dikuatkan dengan pendapat para ahli antara lain Dr Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Dr Fahry Bachmid, bahwa harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak. Sebab, penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang," ujar Yusril.
Yusril dan Yuri mengatakan kedudukan parpol sangatlah mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara. Ada 6 (enam) kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945 dan puluhan kali partai politik disebut di dalam undang-undang, bahkan ada undang-undang khusus yang mengatur partai politik seperti yang sekarang berlaku, yakni UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya.
Yusril melanjutkan, dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya partai politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Usai Pemilu, fraksi-fraksi partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU, membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan seterusnya. Di daerah, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang bisa mencalonkan Kepala Daerah dan Wakilnya.
Begitu partai politik didirikan dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Dengan demikian, menurutnya partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
"Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi?" ujar Yusril.
Yusril menyinggung partai-partai yang punya wakil di DPR RI juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN, yang berarti dibiayai dengan uang rakyat. Karena itulah, Yusril berpendapat, jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola 'suka-suka' oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting atas dasar legitimasi AD/ART yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan UUD 1945.
"Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak? Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik?" kata Yusril.
"Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materiil ke Mahkamah Agung," imbuhnya.
Lebih lanjut, Yusril menyebut seharusnya Menkumham, sebagai pihak yang diberi kewenangan mengesahkan AD/ART tidak boleh punya kepentingan sendiri. Dia menyebut sebagai pejabat yang hanya bertugas untuk mengesahkan, Menteri Hukum dan HAM juga kerap dalam posisi 'tidak enak' untuk memeriksa terlalu jauh materi pengaturan AD/ART partai politik, apalagi menteri yang berasal dari parpol juga.
"Menkumham tidak boleh punya kepentingan terhadap AD/ART sebuah partai yang diminta untuk disahkan. Jadi urusan prosedur pembentukan dan materi pengaturannya memang lebih baik diuji formil dan materiil oleh Mahkamah Agung. Sehingga jika seandainya Mahkamah Agung memutuskan AD/ART itu bertentangan dengan UU, maka Menkumham sebagai Termohon tinggal melaksanakan saja amar putusan Mahkamah Agung, dengan mencabut Keputusan Pengesahan AD/ART partai tersebut," kata Yusril.
Karena itu, Yusril menilai pengujian AD/ART ke MA ini sebagai langkah penting untuk membangun demokrasi yang sehat.
"Kami berpendapat bahwa pengujian AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung ini sangat penting dalam membangun demokrasi yang sehat di negara kita. Bisa saja esok lusa akan ada anggota partai lain yang tidak puas dengan AD/ART-nya yang mengajukan uji formil dan materiil ke Mahkamah Agung. Silahkan saja. Sebagai advokat, kami bekerja secara profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai ketentuan UU Advokat. Keterlibatan kami dalam menangani judicial review ini adalah juga tanggungjawab kami kepada negara dalam membangun hukum dan demokrasi," jelas Yusril.
Dia juga menegaskan posisinya di dalam perkara ini sebagai advokat dan tidak ada kepentingan politik. Yusril menegaskan dirinya tidak bertanya apakah 4 orang yang diwakilinya itu mengikuti KLB di Sibolangit atau tidak. Yusril menyebut keempat orang tersebut punya legal standing untuk mengajukan JR ke MA.
"Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu. Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani," katanya.
Eks Ketua Demokrat Gugat Menkumham ke MA
Mantan Ketua Partai Demokrat (PD) Ngawi Muh Isnaini Widodo menggugat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) ke Mahkamah Agung (MA). Isnaini mengajukan judicial review soal kepengurusan DPP Partai Demokrat.
Hal itu tertuang dalam website MA yang dikutip detikcom, Kamis (23/9) kemarin. Perkara yang diajukan Isnaini itu mengantongi Nomor Perkara 39 P/HUM/2021. Judicial review masuk pada 14 September 2021 dan saat ini masih diproses oleh tim C.
Kasus bermula saat Isnaini menghadiri KLB PD kubu Moeldoko di Deli Serdang. Hal itu membuat PD marah dan memecat Isnaini.
Gugatan demi gugatan sebetulnya sudah diajukan kubu Moeldoko kepada Partai Demokrat.
Partai Demokrat Singgung Begal Politik
Partai Demokrat mempertanyakan maksud dari keempat mantan kader partainya yang menggugat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) ke Mahkamah Agung (MA) soal judicial review kepengurusan DPP dengan menggandeng advokat Yusril Ihza Mahendra. Ketua DPP Demokrat yang duduk di Komisi III DPR, Didik Mukrianto, menyebut uji materiil tersebut sebagai upaya mencari pembenaran atas terselenggaranya KLB ilegal pada Maret 2021.
"Dengan menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara, gerombolan Moeldoko sedang mencari pembenaran ke MA agar dapat melegalkan 'begal politik' yang mereka lakukan," ujar Didik dalam keterangannya, Kamis (23/9/2021).
Demokrat menegaskan Kongres 2020 sudah sah dan demokratis. Didik pun bingung jika ini terus digugat.
"Kongres Partai Demokrat 2020 sudah sesuai aturan dan demokratis. Tidak mungkin lagi diperdebatkan konstitusionalitasnya. SK menterinya juga sudah dikeluarkan lebih dari 1 tahun yang lalu. 'Akrobat hukum' apa lagi yang mereka mau pertontonkan ke publik?" ujarnya.
Didik menjelaskan Menkumham mempunyai tim pengkaji hukum yang kuat dan prosedur berlapis dalam memeriksa keabsahan serta sinkronisasi peraturan perundangan-undangan sebelum mengeluarkan sebuah surat keputusan. Dengan demikian, dia menegaskan upaya JR ini adalah upaya membegal partai politik.
"Permohonan judicial review ini bisa dianggap sebagai upaya 'begal politik' dengan modus memutarbalikkan fakta hukum, namun kami yakin Mahkamah Agung akan menangani perkara ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya," kata Didik.
"Sekali lagi, ini bukan masalah internal partai, ini adalah upaya paksa untuk merobek demokrasi dan kepastian hukum di negeri Kita," lanjut Didik.