Ahli dari Inggris Sebut Penggolongan Ganja Didasari Politik di Sidang MK

Ahli dari Inggris Sebut Penggolongan Ganja Didasari Politik di Sidang MK

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 15 Sep 2021 11:40 WIB
Operasi pemberangusan ganja di Aceh oleh personel gabungan Bareskrim Polri dan Polda Aceh masih terus berlanjut.
Foto: Ilustrasi ganja (Muhammad Abdurrosyid-detikcom)
Jakarta -

Ahli asal Inggris, Stephen Rolles menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan I adalah kebijakan politis. Stephen menilai disetarakannya golongan ganja dengan heroin, sabu hingga ekstasi bukan didasarkan alasan kesehatan.

"Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi," kata pria yang akrab disapa Steve saat bersaksi secara daring sebagaimana dilansir dalam risalah MK, Rabu (15/9/2021).

"Dan keputusan-keputusan tersebut pada masanya dibuat lebih bersifat politik, alih-alih ilmiah atau berbasis bukti," sambung dia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Stephen merupakan analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy Foundation, yaitu sebuah badan amal yang berbasis di Inggris. Transform Drug Policy Foundation terlibat dalam kegiatan analisis dan advokasi kebijakan obat‐obatan.

Transform Drug Policy Foundation didirikan dengan tujuan meningkatkan kesehatan, dan kesejahteraan individu, dan masyarakat melalui kebijakan obat‐obatan yang lebih adil, dan efektif. Steve mengaku menjadi penasihat kebijakan regulasi obat‐obatan untuk sejumlah pemerintah termasuk Uruguay, Kanada, Thailand, dan Luxembourg.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, sebagian besar sistem hukum nasional didasarkan pada tiga konvensi obat-obatan PBB, yakni Konvensi 1961, 1971, dan 1988. Konvensi itu memiliki tujuan ganda untuk membatasi penggunaan obat psychoactive nonmedis, sementara juga memfasilitasi dan mengelola penggunaan medis dan ilmiah.

"Konvensi-konvensi PBB dimaksud telah membuat penggolongan obat-obatan yang berupaya untuk mengurucutkan berbagai obat berdasarkan risiko penggunaan nonmedisnya, termasuk persoalan terkait toksisitas dan sifat adiktifnya di samping kegunaan medisnya," papar Steve.

"Penggolongan obat-obatan tertentu sering menjadi bahan perdebatan dan kontroversi, tapi prinsip bahwa obat-obatan yang lebih berisiko diatur lebih ketat adalah inti dari sistem tersebut," lanjut dia.

Baca berita lengkapnya di halaman berikutnya.

Oleh sebab itu, kata Steve, larangan terhadap ganja biasanya didorong karena persepsi yang salah yaitu tentang penyalahgunaan ganja. Bukan atas dasar pengendalian obat- obatan medis.

"Kontrol atau pelarangan obat yang terlalu ketat tidak akan berdampak pada tingkat penyalahgunaan, namun justru tanpa sengaja dapat merugikan pasien karena menghalangi dokter untuk memberikan perawatan yang optimal," tutur Steve.

Steve menegaskan bahwa penggolongan obat bukan berarti yang lebih rendah golongannya menjadi lebih aman. Semua golongan obat baik I, II dan III masih tetap beresiko terhadap kesehatan.

"Tetap perlu dikendalikan secara ketat," tutur Steve.

Sebagai penutup, Steve menyatakan tidak ada sistem yang sempurna dan penyelewengan dalam tingkatan tertentu mungkin tidak terhindarkan. Tapi pengalaman global dan panduan PBB mengarah pada sistem untuk regulasi obat medis berbasis risiko yang bertanggung jawab melalui kerangka kelembagaan yang mapan, bukan menutup total kemungkinan penggunaan medis.

"Sudah tepat apabila persoalan ini sepatutnya memang ada di ranah kesehatan masyarakat, alih-alih di ranah pidana," pungkas Steve.

Sidang judicial review UU Narkotika itu diajukan oleh Dwi Pratiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayati, yang meminta MK melegalkan ganja untuk kesehatan. Dwi merupakan ibu dari anak yang menderita cerebral palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Sedangkan Santi dan Nafiah merupakan ibu yang anaknya mengidap epilepsi.

Halaman 2 dari 2
(asp/aud)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads