MPR RI masih melakukan pengkajian terkait bentuk hukum Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjadi salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019. Isu PPHN jadi pintu masuk amandemen UUD 1945?
Pada 22 Juni 2021, Ketua Badan Pengkajian (BP) MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan MPR masih mengkaji secara mendalam bentuk hukum dan substansi PPHN. Wakil Ketua BP MPR Benny K Harman membenarkan pernyataan Djarot.
"Benar Pak Djarot. Dia kan ketuanya, dia bicara apa adanya, yang benar," kata Benny saat ditanya soal perkembangan pengkajian PPHN dengan menyertakan pernyataan Djarot pada Juni lalu, Kamis (2/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun Benny tidak menjelaskan secara detail sudah sampai mana pengkajian perihal bentuk hukum dan substansi PPHN.
"Belum ada sama sekali," tegas anggota MPR Fraksi Partai Demokrat itu.
Sekadar informasi, bentuk hukum PPHN dianggap sebagai 'kunci' isu amandemen UUD 1945. Ketua MPR saat ini, Bambang Soesatyo, dalam pidatonya di sidang tahunan MPR 16 Agustus 2021 menyebut amandemen UUD 1945 perlu dilakukan untuk menambahkan kewenangan MPR menetapkan PPHN.
Tapi banyak pihak khawatir, jika amandemen dilakukan, pembahasannya akan melebar tidak hanya perihal PPHN. Ada yang berspekulasi amandemen juga akan menyentuh ke pasal perihal masa jabatan presiden.
Kembali ke Benny. Fraksi Demokrat MPR menilai bentuk hukum PPHN tidak harus UUD 1945. Artinya, amandemen UUD 1945 tidak perlu dilakukan.
"Bentuk legalnya (PPHN) cukup dengan undang-undang," ucap Benny.
Diberitakan sebelumnya, PKS menjadi pihak yang cemas atas rencana amandemen UUD 1945. PKS melihat amandemen menjadi berbahaya jika dilakukan saat ini. Namun PKS tidak 'mengharamkan' amandemen.
"Evaluasi harus selalu dilakukan. Amandemen juga bukan hal yang haram," tutur Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Rabu (1/9).
"Tapi dalam kondisi isu tiga periode sudah berkembang plus perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang, ide amandemen berbahaya," imbuhnya.
(zak/tor)