Perjalanan hidup setiap orang berbeda-beda, unik dan punya cerita masing-masing. Ada yang berliku, ada yang penuh dengan romantika. Salah satunya diceritakan pembaca detik's Advocate berikut ini.
Dalam surat elektronik yang dikirimkan ke detik's Advocate, penanya menceritakan kasus temannya, Mr X yang penuh romantika. Mr X tiba-tiba dihubungi mantannya yang sudah menjadi janda dan mempunyai anak. Mantannya itu mengaku anak itu adalah hasil hubungan saat berpacaran dengannya. Padahal, Mr X sudah punya istri sah.
Mr X yang sudah beristri kemudian menikahi mantannya secara diam-diam dengan alasan anak biologisnya. Rumah tangga menjadi runyam karena istri sahnya mengetahui hal itu. Berikut kisahnya:
Assalamualaikum wbr...
maaf pak saya mau bertanya. Saya mempunyai seorang adik sepupu yang 10 tahun yang lalu dia pernah meninggalkan kekasihnya. Setelah sepuluh tahun kedepan dia bertemu kembali dengan mantan pacarnya yang sudah menikah dengan orang lain dan statusnya sekarang ini sudah menjadi janda.
Setelah pertemuannya kembali si pacar mulai minta pertanggungjawaban dari dia yang katanya sewaktu ditinggal oleh dia dalam kondisi hamil.
Akhirnya sepupu saya menikahinya (nikah siri) tanpa izin dari istrinya yang sekarang. Artinya dia menikahi pacarnya kembali secara diam-diam.
Singkat cerita akhirnya si istri mengetahui hubungan mereka. Karena dalam kondisi takut kehilangan istri dan anak-anak dia berencana ingin memutuskan kembali pacarnya itu tapi dia merasa berdosa terhadap anak di luar nikahnya.
Yang ingin saya tanyakanhukumnya dalam agama dan hukum negara tentang perkawinan mereka dan hak asuh anak tersebut?
Mohon penjelasannya
Untuk menjawab permasalahan di atas, detik's Advocate menghubungi Ivanna Eltiara Cahyani, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember/Paralegal BPBH FH Universitas Jember. Berikut pendapat hukumnya:
Berdasarkan pertanyaan di atas, dapat dimisalkan adik sepupu penanya (pihak laki-laki) sebagai X. Setelah 10 tahun berlalu, mantan pacar X menemui pihak X untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuataannya di masa lalu dengan cara nikah siri. Pada kasus ini diasumsikan pula bahwa pihak X melakukan pernikahan siri menurut agama Islam.
Nikah siri sendiri dalam Islam dipandang sebagai pernikahan yang sah secara agama sejauh memenuhi syarat dan rukun nikah pada saat praktik nikah siri digelar. Syarat sah pernikahan siri, antara lain:
1. Adanya kedua mempelai
2. Adanya wali
3. Adanya saksi
4. Adanya ijab Kabul
Namun jika melihat ketentuan dalam hukum positif, maka nikah siri bukanlah pernikahan yang dianggap sah oleh negara karena tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Kantor Urusan Agama bagi yang menganut agama Islam sehingga tidak bisa dicatatkan dalam buku Akta Nikah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:
(1) "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu".
(2) "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Berdasarkan Pasal di atas, pernikahan siri yang dilakukan oleh X dengan mantan pacarnya hanya dianggap sah oleh agama. Secara hukum negara, pernikahan mereka tidak diakui karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum negara yang mengharuskan adanya pencatatan perkawinan.
...............
Anak X bersama mantan pacarnya dikategorikan sebagai Anak Luar Kawin (ALK) yang memilki kedudukan berbeda jika dibandingkan dengan anak sah dimuka hukum. Anak yang sah memiliki hubungan keperdataan secara sempurna dengan kedua orang tuanya, seperti ketentuan Pasal 42 Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 99 Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab anak dihubungkan kepada ayah dan ibu, hak pemenuhan nafkah terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya.
Terlepas dari bagaimana status seorang anak dimuka hukum, seiap orang tua tetap memiliki kewajiban untuk merawat dan membiayai anak tersebut hinggak dewasa. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; serta
Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Selain itu, seorang Anak Luar Kawin yang sebelumnya hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya namun melalui putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 Nomor 46/PUU-VIII/2010 perkara atas nama Machica Mochtar, hubungan perdata antara ALK dengan ayahnya dimungkinkan asalkan bisa dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini contohnya dengan melakukan tes DNA. Berikut bunyi putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang mengubah bunyi dari Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan :
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya";
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
(asp/knv)