Wanita yang mengalami sindrom MRKH masih sangat sedikit jumlahnya karena kasusnya yang unik. Terlebih masih sangat jarang ada wanita yang mau mengungkap kondisi dirinya tersebut. Sindrom ini harus segera diperiksa bila seorang wanita tidak kunjung menstruasi di usia 12-14 tahun.
Dita Anggraeni, 29 tahun, mengaku cukup lama baru menyadari ada ciri-ciri MRKH dalam dirinya. "Sindrom MRKH itu baru ketahuan biasanya setelah si perempuannya itu justru menginjak remaja," ujarnnya. Ciri utama untuk mendeteksi sindrom ini adalah ketika perempuan tidak kunjung mengalami menstruasi.
Sebagai penyintas, dia bercerita baru bisa memberanikan diri saat menginjak usia 19 tahun belum juga menstruasi. Karena kesibukannya dalam kegiatan sosial, kerja, dan kuliah, Dita tidak pernah terlalu serius memikirkannya. Baru setelah ada rencana menikah, Dita mengkuatkan diri untuk memeriksa ke dokter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi akhirnya saya memberanikan diri tuh datang ke dokter obgyn," kata Dita mengenang momen tersebut. Dia pun mendatangi bagian Obstetri Ginekologi FKUI-RSCM pada Senin, 19 Desember 2011. Kurang lebih setahun sebelum pernikahannya.
Baca juga: Saya Perempuan Tanpa Rahim |
Secara hormon, wanita dengan sindrom MRKH bisa dibilang normal. Selama masa pubertas, ada gangguan siklus menstruasi namun saat itu tidak terlalu dipikirkan. "Kondisi ini waktu itu saya sebatas tahu kalau Dita tidak punya rahim, dan tidak pernah mens. Di posisi itu saya cuma berpikir kalau ya mungkin itu kista," ungkap Fahmi Ibrahim, mengenang masa itu.
Dari pemeriksaaan ultrasonografi ditemukan bentuk dan ukuran ovarianya normal. Pada ovaria kanan mengandung folikel dominan, dan ovarium kiri mengandung beberapa folikel antral. Sedangkan di daerah retrovesika terdapat massa ekogenik yang berasal dari pita genital.
Visual endometriumnya tidak jelas dan gambar vagina proximal sulit dinilai. Kesimpulannya disgenesis uteri. "Waktu itu namanya belum MRKH," beber Dita. Dita terus mempelajari sendiri kondisi medisnya tersebut. Baru pada 2014 dia memastikan ciri-cirinya sama dengan kondisi sindrom MRKH.
Baca juga: Tanpa Rahim, Dita Melahirkan Anak dari Hati |
Cukup lama bagi Dita untuk menerima kenyataan kalau dirinya tidak bisa memiliki keturunan. Tapi, perlahan dia mulai bangkit dengan mendirikan komunitas MRKH Indonesia. Dari sana, Dita menemukan ternyata banyak perempuan yang bernasib sama dengannya dan membutuhkan teman satu frekuensi untuk berbagi.
Mereka pun lanjut membuat grup whatssapp untuk saling bertukar cerita dan pengalaman. Kadang juga membuat diskusi dengan menghadirkan dokter-dokter spesialis. Grup tersebut saling menguatkan satu sama lain dan Dita akhirnya mulai bangkit dari kondisinya.
Keinginan untuk mengurus anak-anak pun kembali tumbuh walau itu bukan anak dari rahimnya. "Saya pengen banget bisa mengurusin anak-anak, walaupun saya tidak bisa melahirkan," ujarnya. Dita meyakini mungkin tidak semua perempuan bisa hamil dan melahirkan. Tapi, setiap perempuan itu pasti bisa jadi ibu. Meski bukan ibu biologis.
(isf/gah)