Upaya pengendalian pandemi bukan hanya soal memutus rantai penyebaran virus. Akan tetapi juga menghadapi gangguan infodemik seputar COVID-19 dengan memutus informasi palsu dan hoaks terkait pandemi.
Maraknya infodemik yang terdiri atas misinformasi, disinformasi, serta hoaks mengenai COVID-19 di tengah masyarakat berpotensi memperburuk situasi pandemi. Tak hanya itu, laju penyebaran berita hoaks yang sering terjadi juga bisa berbahaya. Terlebih, jika penerimanya tidak memeriksa kebenaran terlebih dulu saat membagikan ke orang lain sehingga tidak memahami dampaknya.
Dalam Dialog Kabar Kamis di Media Center KPCPEN, Dirjen IKP Kementerian Informasi dan Informatika Indonesia (Kemkominfo), Usman Kansong mengatakan hoaks tumbuh subur pada masa krisis atau ketika terdapat dinamika tinggi dalam masyarakat. Terlebih, di situasi pandemi yang tergolong multikrisis, karena terjadi krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, ada dua strategi yang diterapkan pihaknya untuk mengatasi hoaks. Pertama, di sisi hulu, berupa edukasi literasi digital masyarakat. Sedangkan pada sisi hilir, Kemenkominfo melakukan tindak lanjut berupa kontra narasi, penegakan hukum, atau pencabutan berita dari platform digital.
"Terdapat UU ITE yang mengatur tentang sanksi hukum tindakan kebohongan publik atau penyebaran berita bohong. Ini adalah ranah para penegak hukum. Sedangkan dari Kominfo, kami bekerja sama dengan pengelola platform digital melakukan tindakan take down atau menurunkan konten negatif tersebut dari sana," jelas Usman dalam keterangan tertulis, Kamis (26/8/2021).
Usman menggungkap, selama periode Januari 2020 hingga Agustus 2021, pihaknya telah menemukan 1.800 temuan hoaks. 767 kasus di antaranya disebut telah mendapatkan penerapan tindakan hukum.
Menurut Usman, hoaks jadi makin masif akibat terdorong oleh teknologi digital. Oleh karena itu, ia menilai upaya transformasi digital tidak boleh hanya bertumpu pada perluasan akses, melainkan juga harus didukung dengan penguatan literasi digital. Ia pun mengatakan pihaknya selalu berinovasi dalam strategi komunikasi. Sebab, perlu beradaptasi dengan dinamisnya situasi pandemi di lapangan.
Sementara itu, Ketua Umum BPP Perhimpunan Humas Indonesia, Agung Laksamana turut memberi pandangan dari sisi kehumasan. Menurutnya, fungsi kehumasan sangat diperlukan untuk sosialisasi konten-konten positif dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
"Pada dasarnya, seluruh warga Indonesia dapat menjadi humas, untuk menyebarkan berita baik dan memaksimalkan program pemerintah," kata Agung.
Agung menjelaskan komunikasi publik harus memiliki sebuah agenda setting yang tepat sasaran, agar lebih bersifat proaktif dan bukan reaktif. Di sisi lain, ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam berkomunikasi guna menghindari persaingan dalam mendapatkan atensi masyarakat di tengah banyaknya konten yang beredar.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho pun menerangkan bahwa hoaks di Indonesia sudah menerbitkan perilaku bermasalah sehingga sangat memerlukan kewaspadaan.
Ia berpesan agar tidak mudah terjebak dalam hoaks, masyarakat jangan mudah kagum dan jangan mudah kaget akan sebuah berita baru. Selain itu, masyarakat wajib bertanya atau memeriksa fakta saat menemukan informasi yang meragukan.
"Upaya periksa fakta di Indonesia sudah berjalan masif, baik oleh pemerintah maupun komunitas. Menjadi tanggung jawab kita untuk menguatkan diseminasinya," ujar Septiaji.
Ia pun menjabarkan ada cara mudah untuk periksa fakta, yakni melalui ekosistem periksa fakta yang mudah diakses masyarakat dalam mencari kebenaran informasi, seperti https://covid19.go.id/p/hoax-buster untuk seputar COVID-19, atau http://cekfakta.com/ untuk informasi umum.
Lebih lanjut, Septiaji mengatakan pihaknya menyambut baik upaya pemerintah untuk menggandeng para pemuka agama dan tokoh masyarakat sebagai agen literasi digital.
"Melalui para pemuka ini, kita juga dapat mencari tahu keresahan masyarakat agar kita dapat mengatasinya," tambahnya.
Menurutnya, peran serta setiap anggota masyarakat sangat diperlukan untuk menyisir dan menghentikan hoaks yang beredar. Selain itu, kolaborasi pemerintah dan lintas sektoral juga mutlak dalam penguatan literasi digital sekaligus memastikan penyampaian informasi-informasi yang benar kepada seluruh masyarakat.
(akn/ega)