Analisis Denny Indrayana dapat dipublikasikan ulang oleh media cetak maupun online, terbit setiap Senin. Hubungi sindikasi@agrakom.com untuk mendapatkan informasi mengenai layanan sindikasi berita dan kolom detik.com. [Hak cipta dilindungi undang-undang]. (asy/)
Analisis Denny Indrayana
Bercinta demi Papua
Senin, 03 Apr 2006 13:37 WIB
Jakarta - Papua memang selalu menjadi berita. Ada kelaparan yang bersandingan dengan maut di lereng Yahukimo; Anak-anak lulusan SD di Papua banyak yang tak bisa membaca; Kerusuhan di Abepura menelan korban jiwa, menyebabkan beberapa aparat keamanan meregang nyawa, dan banyak mahasiswa lari ke hutan belantara; Tak berapa lama, foto longsor di lahan pertambangan emas Freeport kembali menghias halaman pertama media massa. Menambah semarak tuntutan agar perusahaan raksasa itu ditutup saja.Papua sering menjadi berita. Sayangnya kebanyakan berita duka. Teramat jarang berita suka. Tidak jauh-jauh dari keterbelakangan koteka. Ironi memang selalu hadir di Papua- dan sebenarnya di banyak tempat di Indonesia. Dimana kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat Papua tidak hanya kelaparan di lumbung padi; lebih parah lagi rakyat Papua berkoteka di pegunungan emas-tembaga.Di kesemua berita, rakyat Papua selalu menjadi objek penderita. Jarang dilihat eksistensi kemanusiaannya. Terlalu sering kabar dari Papua diolah menjadi komoditas yang lepas dari akar masalahnya. Demikian pula kabar terakhir tentang suaka yang diberikan Australia. Banyak mulut bicara tentang kurang ajarnya Australia, serta tuntutan menutup hubungan dengan negeri Kanguru tersebut. Tapi teramat sedikit yang merenungi kenapa Indonesia bisa selalu menjadi bulan-bulanan negara tetangga, tidak hanya Australia tetapi juga Malaysia, bahkan negeri sepetak jengkal seperti Singapura.Australia menerapkan standar ganda bukanlah kali pertama. Penyerangan ke Irak - bersama-sama dengan Inggris dan Amerika - adalah contoh nyata. Mendukung integrasi Papua dengan Indonesia, tetapi memberi visa suaka sementara adalah taktik diplomasi ganda kesekian kalinya. Itu karena Indonesia bagi pemerintah Australia adalah negeri yang hanya perlu dipandang sebelah mata. Diajak bekerjasama jika dirasa perlu saja, misalnya dalam agenda "perang melawan terorisme". Namun dicampakkan jika dirasa tidak berguna. Itulah persahabatan politik, yang abadi hanyalah kepentingan semata.Persahabatan politik selalu demikian hukum alamnya. Berkoalisi untuk pembagian kue kenikmatan, beroposisi jika tidak cocok pembagian kursi kekuasaan. Karenanya, persahabatan sejati harus dijauhkan dari agenda politik dan harus lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Kerjasama di bidang pendidikan dan budaya antara masyarakat Indonesia dan Australia terasa lebih tulus, lebih tanpa pamrih. Saat ini ada banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh studi lanjut, serta seniman Indonesia yang tampil di hadapan publik Australia. Dibandingkan relasi government to government, hubungan dari hati-ke hati masyarakat Indonesia-Australia itu lebih tulus tanpa rekayasa, lebih penuh dengan cinta.Kerakusan kekuasaan dan keuanganlah yang merusak hubungan cinta. Itulah akar masalahnya. Kerakusan kekuasaan dan perusahaan raksasa Freeport yang menumbuhkan benci di hati rakyat Papua, dan menjauhkan mereka dari Jakarta, dan akhirnya Indonesia. Lihat saja, tidak banyak suara sumbang dari tanah Papua berkait dengan isu suaka dari Australia, yang ribut dan seakan bersuara perkasa hanya orang-orang Senayan dan Istana. Rakyat Papua hanya satu-dua yang bicara, itupun terasa kental dengan rekayasa.Tanpa menyelesaikan akar masalah tersebut, sampai kapanpun Papua tidak akan meng-Indonesia. Keadilan dan kesejahteraan yang dirampok di depan mata akan menyebabkan isu Papua rentan politisasi dan intervensi mancanegara, tidak terkecuali campur tangan Amerika dan Australia. Freeport dan tambang emasnya adalah tambang konflik jika tidak dikelola dengan bijaksana, terlebih jika manajemennya penuh dengan korupsi dan manipulasi data. Yang hanya menyisakan limbah dan kerusakan lingkungan sahaja.Jadi, marah kepada Australia sampai memutuskan hubungan diplomasi adalah satu pilihan yang seakan gagah-perkasa. Padahal nasionalisme semu demikian hanya akan membahagiakan elit Jakarta, yang seakan peduli dengan bangsa, padahal tetap tidak juga merangkul rakyat Papau. Tindakan emosional memutuskan hubungan dengan Australia cenderung tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Malah mungkin akan menambah bahan bakar di sana untuk semakin membara. Menghadapi sikap tak bersahabat pemerintah Australia, Indonesia tidak cukup membenahi diplomasi internasional, tetapi juga wajib membenahi diplomasi lokal. Tak pernah disentuhnya hati rakyat Papua harus segera diakhiri. Diplomasi cinta harus menjadi pilihan untuk merebut kembali kedaulatan Papua yang sudah tercabik-cabik dengan sikap kemunafikan elit Jakarta. Rakyat Papua harus segera dijadikan subjek tidak lagi menjadi objek semata. Membicarakan Papua wajib selalu mendengarkan suara hati seluruh masyarakat di paling timur nusantara. Tidak cukup bertanya kepada Gubernur ataupun elit mereka yang lebih sering berada di Jakarta, ketimbang tidur bersama rakyatnya. Kebanggaan akan tanah Papua harus dikembalikan kepada rakyat Papua, yang jelas nyata rakyat Indonesia juga. Jangan sampai ada lagi rakyat Papua yang terpaksa - atau bersedia - berlayar ke Australia hanya demi mencari suaka. Perlindungan dari kekerasan akan kehilangan makna jika di Papua sendiri kehidupan terasa aman dan bahagia.Politik cinta dengan rakyat Papua akan menutup peluang campur tangan Australia, menutup pintu bagi alasan para pencari suaka. Mari bercinta untuk Papua. Keterangan penulis:Denny Indrayana, Doktor Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM Direktur Indonesian Court Monitoring.
Analisis Denny Indrayana dapat dipublikasikan ulang oleh media cetak maupun online, terbit setiap Senin. Hubungi sindikasi@agrakom.com untuk mendapatkan informasi mengenai layanan sindikasi berita dan kolom detik.com. [Hak cipta dilindungi undang-undang]. (asy/)
Analisis Denny Indrayana dapat dipublikasikan ulang oleh media cetak maupun online, terbit setiap Senin. Hubungi sindikasi@agrakom.com untuk mendapatkan informasi mengenai layanan sindikasi berita dan kolom detik.com. [Hak cipta dilindungi undang-undang]. (asy/)