Tarung bebas di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjadi sorotan hingga dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Aksi tarung bebas tersebut dinilai hanya sebagai gerakan anak muda untuk memperebutkan predikat 'jago'.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Nurhayati Rahman menilai aksi tarung bebas tersebut berbeda dengan budaya tarung bebas di masyarakat Bugis-Makassar.
"Kalau menurut saya, itu cuma gerakan jago-jagoan anak muda, budaya kita sudah lama sebagian masyarakatnya sudah meninggalkannya, apalagi motifnya mirip preman, ya, ada taruhan uangnya lagi," kata Prof Nurhayati Rahman, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (6/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejarah Bugis-Makassar, dikenal aksi tarung bebas untuk mengawal harga diri (siri'). Budaya ini telah dilakukan sejak berabad-abad lalu.
Tarung bebas yang dilakukan orang-orang dulu bahkan hingga berujung kematian untuk menegakkan siri'.
"Memang ada, tapi itu terpaksa dilakukan, karena orang Bugis-Makassar punya budaya siri' ini, harga diri, tapi kan tidak selalu negatif," katanya.
Dalam bahasa Lontara kuno, masyarakat mengenal istilah 'Toddopulia' yang artinya menancap. Semangat Toddopulia inilah yang menjadi pegangan masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman dulu.
Istilah ini juga dijalankan warganya ketika berselisih paham yang menyangkut harga diri masing-masing dan kedua belah pihak tidak ada yang mengalah.
Ketika negosiasi menemui jalan buntu, lanjut Nurhayati, kedua pihak yang berselisih akan melakukan pertarungan. Pertarungan ini juga ditentukan oleh kedua belah pihak, apakah dengan tangan kosong di tanah lapang atau si gajang ri lalang ripa (saling tikam dalam sarung) atau bahkan yang paling ekstrem adalah dengan cara saling tikam di dalam sumur.
"Konon katanya sebelum dilakukan, mereka sudah siap meninggal, itu kawali (badik) diasah semalam suntuk, lalu diupacarakan kayak upacara mati di keluarga masing-masing. Kalau dia sama-sama yakin merasa benar tidak ada mau mengalah, dia selesaikan dengan cara adat," ucapnya.
Tradisi ini juga dituangkan dalam sebuah kalimat dalam kalimat di kitab 'I La Galigo'. Berikut bunyinya:
Kalau kau bertemu musuh di jalan maka palingkan ke kanan tujuh kali layarmu dan palingkan juga layarmu ke kiri tujuh kali, nanti benar-benar kau tidak diberi jalan, baru kau boleh menempuh kesulitan. Tetapi sekali kau pilih jalan kesulitan itu maka nyawalah taruhannya.
Minta Tak Dipraktikkan Lagi
Tradisi Toddopulia ini disebutnya ada sejak manusia Bugis-Makassar terlahir. Para raja, bangsawan, hingga masyarakat menempuh jalan ini jika tidak ada lagi cara lain yang bisa ditempuh untuk menegakkan harga diri mereka.
"Jadi tidak sembarang orang bertarung atau baku tikam. Dalam La Galigo ini bayangkan, betul-betul tidak ada jalan baru si gajang ri lalang ripa, tapi sekali pilih kesulitan haram hukumnya mundur," terangnya.
"Dalam Budaya Bugis-Makassar kalau sudah menenggak siri dan masing merasa benar baru dia lakukan, betul-betul terpaksa. Biasanya yang berani begitu juga orang yang punya ilmuwan tidak sembarang lakukan itu," imbuhnya.
Meski begitu, untuk masa sekarang, sudah tidak ada lagi orang-orang yang menggunakan cara seperti ini. Dia juga berharap istilah 'Toddopulia' dijadikan sebuah pembelajaran, bukan untuk dipraktikkan lagi.
2 Petarung Jadi Tersangka
Polisi menetapkan 2 pelajar yang terlibat tarung bebas di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjadi tersangka. Sedangkan 6 orang lain yang jadi penonton berstatus sebagai saksi.
Kedelapan orang yang sempat diamankan tersebut telah dipulangkan dari kantor polisi. Mereka dikenai wajib lapor.
"Kan sudah diamankan 8 orang dan 2 orang tersangka," kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes E Zulpan, saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (6/8).
Kedua pelajar yang menjadi petarung tersebut berinisial RA dan MA. Sedangkan enam penonton yang ikut diamankan berinisial EI, AB, TS, MRA, MAF, dan MAS.
(fiq/jbr)