Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai KPK melakukan maladministrasi dalam proses tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Pimpinan KPK yang tak terima atas tuduhan itu, kini menyerang balik ORI.
Ada tiga isu utama yang disampaikan ORI, pertama soal proses pembentukan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, kedua proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan ketiga tahap penetapan hasil asesment TWK.
"Tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi dan secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaan kita, memang kita temukan," kata Ketua Ombudsman Mokh Najih dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas temuan itu, Ombudsman meminta agar KPK mengangkat 75 pegawai yang tak lulus TWK sebagai ASN. Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng, meminta KPK memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah. Selain itu, dia meminta pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberi kesempatan memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Robert meminta KPK mengangkat 75 pegawai itu menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021. Tindakan korektif itu disampaikan Ombudsman ke KPK.
"Hakikat peralihan status pegawai KPK menjadi ASN sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan PP Nomor 41 Tahun 2020 serta maladministrasi dalam proses penyusunan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021, proses pelaksanaan asesmen TWK, maka terhadap 75 pegawai KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021," ucapnya.
KPK Tak Terima Dinilai Maladministrasi
KPK keberatan atas temuan ORI yang menyebut kebijakan TWK adalah maladministrasi. KPK akan menyampaikan surat keberatan atas temuan Ombudsman.
"Dengan ini karena itu kami menyampaikan KPK menyampaikan keberatan berdasarkan landasan hukum di atas Pasal 25 ayat 6 b," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat konferensi pers, Kamis (5/8).
Menurut KPK, Ombudsman menandingi hingga mendahului proses yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ghufron mengatakan alih status pegawainya ini merupakan urusan internal dan bukan wewenang Ombudsman. Ghufron menyebut Ombudsman seharusnya mengurusi urusan pelayanan publik dalam aspek produk dan jasa sebuah lembaga negara.
Poin-poin tanggapan KPK ada di halaman selanjutnya:
Ombudsman RI dalam temuannya menyebut Perkom Nomor 1 Tahun 2021 yang mengatur TWK KPK ini kurang lazim karena rapat harmonisasi terakhir yang dilakukan langsung dihadiri oleh para pimpinan kementerian dan lembaga. Sebab, menurut Ombudsman, berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2018 harmonisasi itu biasanya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi (JPT) seperti Sekjen atau Kepala Biro, bukan pimpinan kementerian/lembaga.
Ghufron, menyebut Ombudsman tidak paham tentang administrasi pemerintahan. Dia menyebut hal itu bukanlah kesalahan karena telah sesuai dengan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Jika tindakan tersebut salah, Ghufron menyebut Ombudsman pun melakukan maladministrasi. Dia mengungkit saat dirinya diperiksa Ombudsman. Menurutnya, bidang yang memeriksa klarifikasi adalah Keasistenan IV yang membidangi fungsi pemeriksaan.
"Deputi Keasistenan yang pelaksanaannya saat itu kedeputian keasistenan IV, tapi yang hadir adalah Robert Na Endi Jaweng, seorang komisioner padahal peraturannya sendiri mengatakan keasistenan, tapi yang hadir komisioner sama dengan saya ketika hadir saat harmonisasi di Kumham. Jadi apa yang dikatakan maladministrasi karena pimpinannya yang hadir, ternyata di Ombudsman dilakukan hal yang sama, maka kalau konsisten pemeriksaan ini juga telah dilakukan secara maladministrasi," lanjutnya.
Meski keberatan atas temuan itu, Ghufron menyebut tetap menghormati dan menjunjung tinggi ORI sebagai bagian dari organ dan pilar perwujudan perlindungan bagi warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan pelayan publik. Dia menyampaikan sejumlah poin terkait pemeriksaan ORI dalam proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.
Berikut poin-poin tanggapan KPK atas temuan ORI:
1) Pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK No 1 Tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan.
2) Ombudsman RI melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.
3) Legal Standing pelapor bukan masyarakat penerima layanan publik KPK sebagai pihak yang berhak melapor dalam pemeriksaan Ombudsman RI.
4) Pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman RI bukan perkara pelayanan publik.
5) Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LHAP.
6) Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan "pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan Kementerian/Lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan. Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam penandatangan Berita Acara Pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada rapat harmonisasi tersebut.
7) Fakta hukum Rapat Koordinasi Harmonisasi yang dihadiri atasannya yang dinyatakan sebagai maladministrasi, dilakukan juga oleh Ombudsman RI dalam pemeriksaan.
8) Pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi Rancangan Peraturan KPK melalui Portal Internal KPK bertentangan dengan bukti.
9) Pendapat Ombudsman Rl berkaitan tentang "terdapat Nota Kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak relevan karena tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekwensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.
10) Pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan Asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti.
11) Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan bahwa KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 karena merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN tidak berdasar hukum.
12) Pendapat Ombudsman Rl berkenaan dengan Berita Acara tanggal 25 Mei 2021, bahwa Menteri PANRB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan Presiden tersebut dan telah melakukan tindakan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil dalam hubungan kerja tidak berdasar hukum.
13) Tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causalitas verband) bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP.
"Berdasarkan kesimpulan tersebut dan mengingat tindakan korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampaui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, oleh karena itu kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," pungkas Ghufron.