Kementerian Hukum dan HAM sudah meluncurkan Perpres 53/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025. Bisakah perpres ini mengakomodasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?
"Terkait pelanggaran HAM berat, kita tahu semangat RANHAM mendorong kementerian/lembaga dan pemda (melakukan) 3P, yaitu penghormatan, perlindungan, penegakan HAM atau P5HAM di Kemenkumham. Jadi melaksanakan P5HAM dalam kebijakan maupun program kegiatan. Jadi sesuai tugas dan fungsinya," ujar Direktur Kerja Sama HAM Kemenkumham Hajerati dalam diskusi RANHAM yang disiarkan langsung di YouTube, Kamis (5/8/2021).
Hajerati mengatakan RANHAM ini tidak bisa berfokus pada aksi HAM yang tidak ditargetkan dan diukur. Menurutnya, itu di luar konteks RANHAM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi RANHAM debottlenecking rutin yang dilakukan kementerian/lembaga dan pemda agar menyasar kelompok tertentu, dan RANHAM nggak bisa menaruh fokus aksi yang tak bisa ditargetkan dan diukur," katanya.
Hajerati juga menjelaskan RANHAM ini adalah ranahnya eksekutif. Sedangkan pelanggaran HAM berat itu harus melibatkan lembaga hukum, seperti kejaksaan dan MA, yang bukan lembaga eksekutif.
"RANHAM ranahnya eksekutif, jadi contoh penyusunan UU, karena harus libatkan DPR, RANHAM nggak bisa memaksa DPR untuk menyelesaikan UU karena proses politik. Begitupun pelanggaran HAM berat harus libatkan kejaksaan dan MA, yang bukan lembaga eksekutif," jelasnya.
"Di sisi lain, pelanggaran HAM berat ada Direktorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat, ya. Jadi kita sudah melakukannya dengan cara non-yudisial, contohnya kemarin ada pelanggaran HAM berat di Provinsi Lampung," tambahnya.