Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta menemukan ada pemborosan yang dilakukan Pemprov DKI dalam pengadaan rapid test pada 2020. Pemborosan dana itu sebesar Rp 1,190 miliar.
Hal itu tertulis dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020. Disebutkan dalam penanganan COVID-19 di 2020, Pemprov DKI melakukan refocusing anggaran.
Salah satu yang mengalami refocusing anggaran adalah Belanja Tak Terduga (BTT). Semula anggaran penanganan COVID di Jakarta dianggarkan senilai Rp 188 miliar. Namun kemudian dilakukan perubahan dengan disahkannya anggaran dari BTT untuk COVID sebesar Rp 5,521 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Realisasi BTT sampai 31 Desember 2020 senilai Rp 4.707.937.545.524 atau 85,27 persen dari anggaran Rp 5.521.44.220.129," demikian isi LHP tersebut, seperti dilihat, Kamis (5/8/2021).
Dengan demikian, ada sisa anggaran BTT yang tidak terealisasi senilai Rp 813 miliar atau 14,73 persen. Kemudian Realisasi BTT per 31 Desember seluruhnya digunakan untuk penanggulangan COVID-19 dengan rincian sebagai berikut:
![]() |
Dana BTT itu kemudian salah satunya digunakan untuk pengadaan rapid test COVID-19. Dari hasil pemeriksaan dokumen pertanggungjawaban pembayaran, BPK menyoroti temuan ada dua penyedia jasa pengadaan rapid test dengan merek sama serta dengan waktu yang berdekatan. Namun, dari dua merek itu, diketahui memiliki harga yang berbeda.
Dijelaskan, pengadaan rapid test COVID oleh Dinkes DKI yang pertama dilaksanakan oleh PT NPN dengan nilai kontrak Rp 9,875 miliar dengan jenis kontrak harga satuan. Waktu pelaksanaan kontak dijabarkan mulai 19 Mei sampai 8 Juni.
Namun pelaksanaan itu mundur karena ada pergantian flight pengiriman. Hingga berubah sampai 14 Juni. Dan, pengerjaan dinyatakan selesai pada 12 Juni dengan jumlah pengadaan oleh Dinkes DKI sebanyak 50 ribu piece dengan harga per unit barang Rp 197 ribu (tidak termasuk PPN).
Setelahnya, Dinkes kembali melakukan pengadaan rapid test dengan jumlah 40 ribu piece melalui PT TKM dengan harga per uni Rp 227 ribu (tidak termasuk PPN). Surat penawaran kontrak itu tertanggal 29 Mei yang dimulai 2 Juni sampai 5 Juni.
Dari hasil pemeriksaan BPK, diketahui PT NPN tidak tahu-menahu soal adanya pengadaan rapid test serupa di luar perusahaannya sebanyak 40 ribu piece. Padahal PT NPN masih menyanggupi permintaan Dinkes DKI jika penawaran dilakukan ke perusahaannya lantaran stok alat rapid test masih tersedia.
"Menurut PPK, rekomendasi penyedia yang bisa menyediakan barang diperoleh dari seksi Survilans pada Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes," tulis LHP itu.
Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK terhadap PT TKM didapati bahwa PT TKM mendapat undangan melakukan pengadaan sebanyak 40 ribu piece dari Dinkes DKI. Bukti kewajaran harga berupa bukti transfer pembelian rapid ke Biz PTE LTD Singapura seharga USD 14 per piece-nya.
BPK menyebut Biz PTE LTD Singapura memiliki hak beli dari HCB di China, sehingga PT TKM terbukti membeli barang lebih mahal, sehingga harga penawaran wajar.
BPK menilai dari penawaran kedua perusahaan itu, seharusnya PPK bisa mengutamakan dan memilih penyedia jasa dengan harga yang lebih murah. Dari nilai kontrak dua perusahaan itu, BPK menilai ada pemborosan.
"Bila disandingkan pengadaan kedua penyedia tersebut, terdapat pemborosan atas keuangan daerah senilai Rp 1.190.908.00," tulis BPK.
Pemborosan itu disebut untuk penyediaan 40 ribu piece rapid test dengan harga satuan Rp 227 ribu. Jika penawaran kontrak itu dilakukan ke PT NPN, bisa lebih murah dengan harga satuan Rp 197 ribu.
"Hal tersebut terjadi karena PPK tidak cermat dalam meneliti data pengadaan atas barang yang sama dari penyedia lain sebelumnya untuk dipakai sebagai acuan dalam penunjukan langsung. PPK tidak cermat mengelola keuangan daerah secara ekonomis, yaitu mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah," tulis BPK.
![]() |
Tanggapan Pemprov DKI
Dari hasil pemeriksaan tersebut, Kadinkes DKI sependapat dengan hasil pemeriksaan BPK. Kadinkes DKI menjelaskan ketelitian sulit dilakukan mengingat harga satuan yang beragam dan ketersediaan stok yang fluktuatif serta agar segera melakukan pesanan atau pengadaan agar mendapat barang yang diinginkan.
"Dengan kata lain berlomba atau beradu cepat dengan instansi pemerintah lain atau swasta dan PPK kurang cermat dalam verifikasi awal dokumen penawaran penyedia dalam keadaan darurat penanganan pandemi COVID-19 yang mengutamakan keselamatan dan penanganan segera," tulis LHP BPK DKI.
Atas temuan itu BPK telah merekomendasikan Gubernur DKI Anies Baswedan memerintahkan Kadinkes menginstruksikan PPK supaya lebih cermat meneliti data pengadaan barang dari penyedia lain.
Tonton juga Video: Batas Tarif Tertinggi Swab PCR-Rapid Antigen Covid-19 Terbaru