Ambon - Pulau Buru identik dengan minyak kayu putih kualitas tinggi. Setiap yang berkunjung ke salah satu pulau di tengah Laut Banda ini pasti menenteng berbotol-botol minyak kayu putih sebagai buah tangan. Sayang produk unggulan itu terancam layu sebelum berkembang. Baik masyarakat dan pemerintah daerah rupanya belum sadar benar akan acaman itu. Lahan konservasi atau perkebunan belum juga disediakan. Sementara makin banyak areal yang semula ditumbuhi pohon kayu putih (
Melaleuca leucadendron) berubah fungsi menjadi perumahan dan toko. Sedangkan yang tersisa, tidak dikembangkan intensif. Pohon kayu putih banyak ditemui di lahan milik penduduk dan hutan-hutan Buru. Total lahan seluas 120.000 hektar, tersebar di Kecamatan Namlea, Waplau, dan Waeapo yang merupakan sentra produksi minyak kayu putih. Tetapi tidak dibudidayakan secara khusus apalagi mendapat perawatan intensif. Kayu putih tak ubahnya tumbuhan liar, tidak ada meremajakannya, mencegahnya terjangkit hama atau memberantas gulma yang mengganggu tanaman induk. Kini hutan kayu putih mulai berkurang produksinya. Di musim kemarau pucuk-pucuk daun baru tidak tumbuh seiring berkurangnya kandungan air di dalam tanah. Akibatnya, persediaan bahan baku minyak kayu putih ini tidak bisa dieksploitasi secara penuh. Dampaknya sudah dirasakan lima tahun terakhir. Tiap pertengahan tahun warga yang menjalankan usaha penyulingan minyak kayu putih senantiasa kekurangan daun kayu putih sebagai bahan baku penyulingan minyak. Purwadi (28), misalnya. Pemuda transmigran asal Gunung Kidul yang menjalankan usaha penyulingan warisan ayahnya ini mengeluhkan turunnya pendapatan keluarganya karena anjloknya kuantitas produksi minyak kayu putihnya. Makin berkurangnya pasokan daun kayu putih berkualitas, dituding jadi penyebab. Usaha penyulingannya paling banyak memasak 300 kilogram daun kayu putih per hari. Ini dua kali lebih rendah dibanding kapasitas terpasang di penyulingannya. "Dulu sehari bisa masak (menyuling) tiga kali sehari. Sekarang sekali. Kalau kemarau, dua hari sekali," kata Ribut yang kini
nyambi narik angkot. Anehnya tidak semua penyuling merasa perlu segera diadakan hutan produksi kayu putih sebagai konservasi. "Oh....nggak perlu. Kan masih banyak hutannya," kata Soamela (33), salah satu penyuling yang
venue-nya di Pameran Dagang Panen Raya Buru di Waeapo dikunjungi Presiden SBY dua pekan lalu. Pemkab Buru bukannya tidak sadar dengan kian berkurangnya habitat pohon kayu putih. Tapi pengadaan lahan konservasi atau hutan produksi belum prioritas. Alasannya kontribusi dari minyak kayu putih ke PAD Kab Buru hanya sekitar Rp 200-an juta, jadi belum layak menjadi andalan kegiatan ekonomi. "Uangnya dari mana? (Pendapatan) Yang kita dapat dari beras (Buru adalah lumbung beras untuk Maluku), baru cukup untuk makan. Kita konsentrasi ke situ dulu, banyak lagi kering akan kita buka untuk pertanian," kata Bupati Buru Husnie Hentihu pada 18 Maret lalu. Padahal bila sebagian dari lahan-lahan kering itu dikembangkan sebagai hutan produksi kayu putih bibit unggul yang dikelola serius, hasilnya tentu luar biasa. Apalagi didukung kebijakan pemberian insentif dan pembinaan pada usaha penyulingan tradisional yang dijalankan warga. Permintaan masyarakat atas suplai minyak kayu putih sangat tinggi. Minyak ini secara tradisional digunakan sebagai antiseptik, obat sakit perut, flu, untuk pijat ringan dan sebagainya. Selain itu juga merupakan salah satu bahan baku industri obat-obatan dan kosmetik. Volume kebutuhan domestik mencapai hampir dua ribu ton per tahun. Tapi produksi dalam negeri hanya 500 ton per tahun. Sisanya diimpor dari Vietnam dan Cina dengan nilai lebih dari Rp 60 miliar setiap tahun. Jadi sebenarnya di dalam negeri saja peluang pasarnya terbuka lebar. Tunggu apa lagi Pak Bupati, jangan sia-siakan kayu putih!
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini