Bojonegoro - Suara mesin menderu keras di antara pepohononan jati yang tumbuh di atas pegunungan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Di antara pepohonan terlihat beberapa batang kayu berukuran sedada dibentuk sedemikian rupa menyerupai tiang tenda alias segitiga.Ya, itulah suasana yang terlihat ketika
detikcom menyeruak masuk ke dalam hutan jati dan pegunungan kapur yang berada di wilayah perbatasan antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Balok-balok yang disusun seperti membangun kemah itu adalah tiang untuk menambang minyak mentah (
crude oil). Dengan kedalaman 200-300 meter di bawah perut bumi, penambangan minyak tradisional di wilayah utara Bojonegoro itu dilakukan dengan memanfaatkan mesin diesel yang sengaja dicopot dari bodi kendaraannya. Begitu pula peralatan lainnya juga cukup sederhana, selain tali tambang dari baja -- agar tidak mudah putus -- sejumlah ember dan drum juga mewarnai lokasi sekitar sumur minyak peninggalan Belanda tersebut.Di kawasan Kecamatan Kedewan, 30 kilometer dari Kabupaten Bojonegoro itu sedikitnya hingga saat ini tersisa 47 sumur minyak produksi dari ratusan titik sumur yang di masa lalu menjadi kekuasaan kolonial. Sumur-sumur itu tersebar di Desa Wonocolo dan Hargomulyo.detikcom yang mengunjungi tambang tradiosional ini sempat terkejut. Bayangkan saja, sumur tradisional itu ternyata lokasinya sangat berdekatan satu sama lain. Tidak sampai 300 meter sudah bisa ditemui aktivitas penambangan yang dikelola per kelompok warga setempat.Setip sumur produksi dikelola per kelompok dengan jumlah yang bervariasi. Misalnya sumur 56 di Desa Wonocolo yang per harinya mampu menghasilkan minyak mentah 2.000 liter ini dikelola oleh 24 orang. "Semua yang kerja di sini warga Wonocolo. Memang saat ini pengelolaannya sudah diserahkan ke warga," jelas Suyoto (54), Koordinator Sumur 56 dalambincang-bincangnya dengan detikcom. Ia bersama kawannya sekampung menambang minyak secara bergantian selama 24 jam.Dalam sehari, rata-rata 10 drum minyak mentah didapatkan dan dijualnya ke Pertamina melalui KUD Bogosasono dengan harga Rp 47.500 setiap drumnya (1drum = 230 liter). Ironisnya harga tersebut dinilainya masih terlalu rendah jika dibandingkan biaya produksinya."Sangat kecil itu, Mas. Seharusnya per drumnya dihargai Rp 100 ribu. Tapi karena harga yang dipatok sudah segitu, ya ...bagaimana lagi. Tidak ada pilihan lain, mau demo nanti malah ditekan," keluhnya. Ia mencontohkan, biaya untuk pembelian solar sebagai penggerak diesel saja sudah cukup besar. Dalam sehari usahanya ini menghabiskan 60 liter. "Belum lagi harus memberikan upah kepada anak buahnya dan biaya transportasi. Kalau dihitung-hitung kita nggak dapat apa-apa dari minyak ini," tukasnya. Ia mengakui bahwa nilai Rp 47.500 itu sebenarnya harga yang baru dinaikkan per tanggal 1 Maret 2006. Sebelumnya harga per drum Rp 37.500. "Tapi meski naik tetap saja kita rugi. Bandingkan dengan kenaikan harga solar yang sekarang luar biasa. Sama saja nggak ada kenaikan harga beli minyak mentah kan kalau begitu," ujarnya. Sebab meski Pertamina bersedia menaikkan harga beli, namun karena harga solar naik maka sama saja impas.
Foto:Inilah tambang minyak tradisional yang mengundang jeritan itu.
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini