Lewat aturan terbaru PPKM Level 4, pemerintah mulai memperbolehkan pedagang kaki lima (PKL) dan warung Tegal (warteg) untuk melayani pembeli yang makan di tempat (dine in). Di sisi lain, restoran dan kafe tetap tidak boleh dine in. Lewat aturan terbaru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memperpanjang napas ekonomi rakyat kecil.
Pada PPKM Level 4 pertama, 20-25 Juli, Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 mengatur PKL hingga restoran dilarang melayani dine in. Namun, pada Inmendagri Nomor 24 Tahun 2021 yang diteken Minggu (25/7) kemarin, PKL dan warteg diizinkan melayani dine in meski masih secara terbatas.
Mulai sekarang hingga 2 Agustus nanti, warung makan/warteg, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan boleh dine in maksimal tiga orang dan waktu makan maksimal 20 menit. Jam buka maksimal sampai pukul 20.00 waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebijakan ini tidak sempurna memang (untuk membatasi virus Corona), tapi kompromi ini tepat. Ini memberi napas kepada masyarakat untuk bisa beraktivitas. Sektor informal bisa menjalankan mata pencahariannya," kata Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas kepada detikcom, Senin (26/7/2021).
![]() |
Doktor bidang kebijakan pembangunan dan perlindungan sosial University of California Amerika Serikat ini menilai pemerintah menghadapi tiga dilema utama belakangan ini. Peraturan PPKM Level 4 yang terbaru kali ini adalah hasil kompromi dari dilema-dilema itu.
"Dilema itu disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal, itu di atas 60% sampai 65%, termasuk pedagang kaki lima hingga buruh," tutur Abbas.
![]() |
Rakyat kecil yang bekerja di sektor informal mengandalkan penghidupannya lewat pendapatan harian. Rakyat kecil ini tidak bisa dipaksa tinggal di rumah seperti sektor formal yang mengandalkan pendapatan dari gaji bulanan tetap. Bantuan sosial tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka, terlebih bila rakyat kecil ini punya anak dan istri. Itulah dilema pertama.
Dilema kedua, pemerintah menghadapi sorotan internasional termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal penanganan pandemi di dalam negeri. Bila tidak direspons dengan baik, citra Indonesia bisa turun gara-gara dianggap gagal menahan laju pandemi COVID-19.
Dilema ketiga adalah potensi efek politik yang serius. Rakyat kecil semakin gelisah karena terhimpit PPKM. Rakyat kecil menjadi kelelahan secara psikologis dan takut terhadap pandemi. Bila kondisi rakyat kecil tidak ditangani dengan baik, Jokowi bisa kena dampak secara politik. Ini seperti air yang mengalir, tapi terus ditahan di bendungan, tanpa disalurkan ke kanal-kanal.
"Masyarakat menjadi sangat rentan diprovokasi, rentan dipengaruhi hoax, rentan dibingungkan informasi obat-obat mujarab tanpa hasil. Kalau tidak ditangani dengan baik, ini bisa amat rumit. Kalau rakyat kecil yang gelisah ini tidak terkanalisasi, maka bendungan bisa jebol," kata Abbas.
Napas rakyat kecil harus dijamin pada kondisi pagebluk ini. Di sisi lain, pagebluk itu sendiri juga harus diatasi supaya dunia (lewat WHO dan persepsinya bisa merembet ke investor) tidak menilai jelek soal Indonesia.
"Persis, dilema itulah yang menjadi dasar memutuskan supaya PPKM kali ini tetap dilanjutkan pada Level 4, tetapi kompromi dilakukan," kata Abbas.
![]() |
Selanjutnya, keputusan terbaik:
Keputusan terbaik
Pakar ilmu politik dari Universitas Paramadina sekaligus pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio (Hensat), menjelaskan virus Corona tidak bisa ditawar-tawar lagi menuntut pembatasan. Namun, di sisi ekonomi, ada rakyat kecil yang harus tetap memperoleh pendapatan. Dari dua pertimbangan itu, lahirlah kebijakan pemerintahan Jokowi untuk PPKM Level 4 yang diperpanjang ini.
"Apa yang dilakukan Pak Jokowi adalah keputusan terbaik pemerintah selama penanganan pandemi. Ini karena aspek kesehatan didahulukan dan faktor-faktor yang lain juga diikutkan," kata Hensat, dihubungi terpisah.
![]() |
"Dari sisi ekonomi, pemerintah memahami bahwa pihak yang terdampak paling keras adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam kondisi terbatas, kini mereka diizinkan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi," kata Hensat.
Namun konsistensi penerapan kebijakan ini juga mutlak perlu supaya terhindar dari kesia-siaan. Pembatasan mobilitas masyarakat tak boleh kendor. Penting pula agar pemerintah menjamin informasi yang baik supaya masyarakat paham kondisi riil perkembangan pandemi COVID-19 di Indonesia. Pemerintah juga harus memberi ruang luas bagi partisipasi masyarakat dalam menangani pandemi.