Anggota Majelis Wali Amanah (MWA) Universitas Indonesia (UI) Bambang Brodjonegoro menegaskan revisi Statuta UI tidak dilakukan secara mendadak. Bambang menyebut keluarnya PP 75/2021 tentang Statuta UI kebetulan bersamaan dengan isu ramai Rektor UI rangkap jabatan.
"Saya tekankan, PP ini tidak dibuat mendadak, karena saya tahu sebagai mantan pejabat di pemerintah 10 tahun, bikin PP apa pun nggak ada yang cepat, kecuali PP langsung amanat presiden. Tapi kalau PP boleh dikatakan bersifat teknis itu memakan waktu sangat lama," ujar Bambang dalam acara diskusi Iluni UI, Sabtu (24/7/2021).
Bambang diketahui sempat menjabat Menteri Keuangan hingga Menteri Riset dan Teknologi di pemerintahan Presiden Jokowi. Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI ini mengatakan pembuatan PP memakan waktu dari segi administrasi, pembahasan, hingga akhirnya diundangkan.
"Memang ini masalah timing yang kebetulan PP keluar ketika terjadi ya semacam ada unsur keributan di media sosial yang tentunya melibatkan Rektor UI," ujarnya.
Bambang juga menjelaskan, awal mula revisi Statuta UI ini dibahas sejak Maret 2019 di kalangan internal, kemudian mulai dibahas ke kementerian pada September 2019. Pembahasan revisi Statuta UI ini, lanjutnya, melewati proses panjang dan tidak instan.
Proses pengajuan revisi Statuta mulai diajukan ketika MWA sudah terbentuk dan ada MWA baru, Rektor sudah dipilih, baru mengusulkan revisi Statuta. Usulan itu kemudian diajukan kepada kementerian, yakni Kemendikbud.
"Dan seperti proses PP pada umumnya, di pemerintah pun harus ada semacam prolegnas. Kalau prolegnas biasa kan undang-undang, juga ada semacam daftar untuk PP yang akan dikerjakan selama tahun 2020," jelas Bambang.
Setelah dibahas di lingkup internal dan dibawa ke kementerian pada September 2019, lanjut Bambang, barulah Rektor membentuk tim untuk 2 bulan. Tim ini adalah tim yang khusus berdiskusi dengan kementerian terkait revisi Statuta.
"Kemudian September Rektor membuat tim yang sebenarnya efektifnya hanya 2 bulan kerjanya dari September sampai Oktober kalau nggak salah, untuk berdiskusi dengan panitia antarkementerian tentunya dengan Dikbud dulu diwakili Sekjen dan Dikti. Memang waktu itu pihak Dikti mencari solusi dari perbedaan empat organ karena yang pertama dilakukan itu usulan yang masih ada bintangnya/stripnya, jadi ada pasal di mana dinyatakan kalau ini usulan siapa, kemudian ini usulannya organ lain, dan di situ memang kita berharap dari forum yang dipimpin Dikbud Dikti bisa ada solusi," ungkapnya.
Bambang menyebut pihak Kemendikbud saat itu juga menyampaikan agar perubahan Statuta UI tidak beda jauh dengan Statuta PTN lain. UI pun saat itu menyanggupinya dengan syarat organ UI tetap empat, yakni perwakilan rektorat, DGB, MWA, dan SA.
"Karena kita membahas revisi ini di Dikbud dan kementerian lain secara formal-informal menyampaikan, kalau bisa, perbedaannya jangan terlalu jauh. Karena itu, kami coba sesuaikan, tapi tetap berusaha menjaga marwah agar organ UI tetap empat. Kenapa kami katakan gitu? Karena sejak Statuta 2013 di UGM dan IPB organ itu tinggal tiga, yaitu MWA, rektor, dan senat akademik. Dan yang saya tahu, di ITB dewan guru besarnya atau majelis forum guru besar bagian dari SA, dan otomatis karena organ cuma tiga, urusan kenaikan pangkat berada di Senat Akademik," ucapnya.
Terakhir, Bambang menegaskan tujuan revisi Statuta agar UI lebih baik lagi. Apalagi, kata Bambang, UI kini ranking 2, setelah Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Kami berharap, dengan perbaikan statuta, UI bisa melangkah lebih cepat dan kemudian tidak berbeda jauh dengan PTN-BH lainnya, karena kita sama dengan yang lain, bahwa mungkin kita ranking-nya termasuk paling tinggi, bahwa kita barangkali punya reputasi internasional lebih tinggi, itu pun masih kadang-kadang didebatkan, apalagi posisi terakhir QS World Ranking UI udah nomor 2, di bawah UGM. Jadi ini alarm bagi kita semua bahwa kita harus perbaiki internal," pungkas Bambang.
Simak Video: Guru Besar UI: Revisi Statuta UI Terkait Agenda Politik 2024
(zap/jbr)