Besaran tuntutan 5 tahun penjara untuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam sorotan. Kritik pun berdatangan. Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas, menilai hukuman 5 tahun penjara terlalu ringan.
Edhy Prabowo dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia diyakini terbukti menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar, dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menuntut agar majelis hakim dapat memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 5 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar jaksa KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa mengatakan Edhy menerima suap melalui beberapa anak buahnya, yakni Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Budi Daya Lobster Andreau Misanta Pribadi serta Safri selaku staf khusus Edhy dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas.
Selain itu, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy (Iis Rosita Dewi) serta Sidwadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics.
Jaksa merinci total suap senilai Rp 25,7 miliar didapat dari dua pihak. Sebesar USD 77 ribu dari Direktur PT DPPP, Suharjito. Sedangkan suap sebesar Rp 24,6 miliar didapat dari pengusaha benur lainnya dalam bentuk biaya kargo dengan menggunakan perusahaan boneka.
Edhy juga berperan aktif dalam memberi izin ekspor benur. Dia juga, disebut jaksa, mengintervensi proses pemberian izin budi daya dan ekspor BBL kepada PT DPPP dan perusahaan eksportir lainnya.
Edhy Prabowo diyakini melanggar Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Namun, besaran tuntutan 5 tahun yang ditetapkan jaksa penuntut umum dianggap terlalu ringan. Baca di halaman berikutnya.
Direktur PUSaKO FH Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai besaran tuntutan 5 tahun penjara untuk Edhy Prabowo menandakan ada yang tidak benar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Feri melihat ada tren penurunan pemberantasan korupsi di balik tuntutan ringan terhadap Edhy Prabowo.
"Pada dasarnya ini kita lihat sebagai tren dari semangat pemberantasan korupsi yang turun luar biasa di era Presiden Jokowi yang kemudian menurut saya mempengaruhi juga pilihan-pilihan kejaksaan dalam menuntut terdakwa kasus korupsi. Kalaulah semangat pemberantasan korupsinya tinggi tentu jaksa akan diperintahkan presiden untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi seberat-beratnya hukuman," kata Feri, Rabu (30/6/2021).
Hanya di pundak majelis hakim Feri berharap. Feri berharap majelis hakim dapat menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada Edhy Prabowo, meskipun, Feri sendiri pesimistis.
"Kalau lihat tren Pinangki (Pinangki Sirna Malasari) kemarin ya kita juga akan ragu jangan-jangan nanti hakim malah memberikan sanksi yang juga ringan. Jadi ini terkait tren upaya pemberantasan korupsi yang anjlok di bawah kepemimpinan Jokowi melalui pihak kejaksaan," ujar Feri.
Kritik juga datang dari ICW. ICW menilai besaran tuntutan untuk Edhy sama seperti tuntutan kasus korupsi kepala desa (kades) di Riau.
"ICW menilai tuntutan KPK terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, benar-benar telah menghina rasa keadilan. Betapa tidak, tuntutan itu sama dengan tuntutan seorang kepala desa di Kabupaten Rokan Hilir Riau yang terbukti melakukan korupsi sebesar Rp 399 juta pada akhir 2017 lalu," sesal peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana, lewat keterangannya, Rabu (30/6/2021).
Padahal, jika melihat konstruksi Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang digunakan, Edhy dapat dituntut penjara seumur hidup. ICW pun mendesak majelis hakim untuk mengabaikan tuntutan jaksa KPK.
"Berangkat dari hal tersebut ICW mendesak agar majelis hakim mengabaikan tuntutan penjara dan denda yang diajukan oleh penuntut umum lalu menjatuhkan vonis maksimal, yakni seumur hidup penjara kepada Edhy Prabowo," ujarnya.
Tuntutan rendah terhadap Edhy juga dianggap sebagai bukti KPK era Firli Bahuri enggan bertindak keras ke politikus. Dia khawatir hal yang sama bakal berulang ke eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Corona.
"Dari tuntutan ini publik dapat melihat KPK di bawah komando Firli Bahuri memang terkesan enggan untuk bertindak keras kepada politisi. Sebab, sebelum Edhy, KPK diketahui juga pernah menuntut ringan Romahurmuzy (4 tahun penjara) pada awal tahun 2020 lalu," ucapnya.
Simak Video "Edhy Prabowo Dituntut 5 Tahun Bui, Hak Politik Juga Dicabut!"
[Gambas:Video 20detik]
(zak/zak)