Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kembali menegaskan keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sangat dibutuhkan bangsa Indonesia. Ia menyebut PPHN berperan sebagai panduan arah dan strategi pembangunan nasional.
Selain untuk memastikan proses pembangunan nasional, Bamsoet menekankan PPHN merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
"Perspektif ideologis mengenai urgensi keberadaan PPHN tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dalam kerangka menjaga dan memperkuat ideologi negara agar tetap menjadi karakter dan jiwa bangsa. Ke depan, berbagai tantangan kebangsaan akan semakin kompleks dan dinamis, sehingga perlu dibangun benteng ideologi dan penguatan karakter bangsa melalui pembangunan wawasan kebangsaan," jelas Bamsoet saat Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Senin (28/6).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, pascaperubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Fungsi GBHN digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Selanjutnya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.
"Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan. Antara lain, karakteristiknya yang cenderung terpusat pada eksekutif, dan besarnya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Karena visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih, belum tentu selaras dengan visi-misi presiden dan wakil presiden periode sebelumnya," papar Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia ini menilai tanpa PPHN sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah berpotensi tak selaras. Sebab, sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN, mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih.
"Dengan adanya bias-bias dan ketidakpastian kesinambungan kebijakan dan program pembangunan nasional tersebut, pada akhirnya mendorong lahirnya wacana publik yang membawa arus balik kesadaran untuk menghidupkan kembali haluan negara 'model GBHN'. Dorongan yang sangat kuat agar MPR kembali memiliki wewenang menetapkan haluan negara ini, antara lain datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta berbagai organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat. Pandangan serupa juga saya temukan dalam beberapa kesempatan kunjungan kerja di berbagai kampus, terakhir di Bali, Riau, dan Aceh," ulas Bamsoet.
Bamsoet mengungkapkan gagasan untuk mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional sebenarnya telah direkomendasikan oleh MPR periode 2009-2014. Rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuannya, mengembalikan wewenang MPR untuk menetapkan pedoman pembangunan nasional 'model GBHN', yang dalam Rekomendasi MPR masa jabatan 2014-2019 disebut dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Pembentukan PPHN melalui perubahan terbatas terhadap konstitusi, setidaknya berkaitan erat dengan dua pasal yang harus diselaraskan. Pertama, penambahan ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Kedua, penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menambahkan secara substansi PPHN hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. Hadirnya PPHN, tegasnya, sama sekali tidak akan mengurangi ruang kreativitas bagi presiden untuk menerjemahkannya ke dalam program-program pembangunan. PPHN akan menjadi payung yang bersifat politis bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis.
"Idealnya, substansi PPHN tersebut harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 25 tahun, 50 tahun, atau bahkan 100 tahun yang akan datang. Mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial yang sangat dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0, bahkan era society 5.0. Selain mampu memberikan arahan untuk menjawab berbagai tantangan dan dinamika pembangunan," imbuh Bamsoet.
(mul/ega)