Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi vonis empat tahun terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam kasus tes swab di RS UMMI. Menurut HNW, vonis tersebut sebagai putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan umum dan harapan tegaknya hukum berkeadilan.
"Wajar bila HRS menolak dan menyatakan banding atas vonis hakim, karena khalayak awam hukum pun bisa menilai adanya ketidakadilan dalam vonis tersebut dan ketidaksesuaiannya dengan fakta di lapangan soal 'kebohongan' dan fakta tidak terjadinya keonaran akibat pernyataan HRS," ujarnya dalam keterangan, Jumat (25/6/2021).
HNW mengkritik pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur bahwa HRS terbukti berbohong atas tes swab antigen yang dilakukan sehingga menimbulkan keonaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saksi ahli di bawah sumpah menyatakan bahwa pernyataan HRS bukan kebohongan. Berbeda dengan vonis hakim, ternyata tidak pernah terbukti bahwa setelah dipublikasikannya pernyataan HRS kemudian terjadi keonaran di masyarakat. Terjadinya keonaran di masyarakat justru akibat dakwaan jaksa kepada HRS yang mempersoalkan imam besar-nya HRS," ujarnya.
HNW menilai semestinya aparat penegak hukum dan pengadilan juga memberikan sanksi kepada beberapa menteri yang di awal masa pandemi COVID-19 menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Dia mencontohkan, menteri yang menyebut COVID-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena iklim tropis membuat virus tersebut mati. Dia juga mencontohkan imbauan menteri terkait masyarakat yang tak perlu mengenakan masker karena masker hanya untuk orang sakit. Selain itu, dia juga mencontohkan masyarakat Indonesia tidak akan terpapar COVID-19 karena masyarakat terbiasa makan nasi kucing.
"Pernyataan itu tidak sesuai fakta, bahkan karena menyepelekan COVID-19 sehingga penanganan atasi virus ini tidak serius dan terprogram sejak awal. Ini mengakibatkan keonaran menasional, yang menimbulkan korban jiwa, ekonomi, dan sosial-politik. Lalu, mengapa mereka tidak terkena sanksi hukum? Apalagi sampai ditahan dan dimajukan ke meja hijau?" tambahnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai beberapa kejanggalan dalam vonis hakim tersebut. Antara lain, opsi yang diberikan oleh majelis kepada HRS untuk meminta pengampunan atau grasi kepada Presiden Joko Widodo.
HNW mengatakan, opsi ini memang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ada kewenangan presiden memberikan grasi. Tetapi, kata dia, grasi itu baru bisa dilakukan bila tersangka menerima vonis hakim.
Oleh karena itu, HNW mengungkapkan, penyebutan alternatif pengampunan/grasi menjadi sangat tidak lazim, apalagi HRS menolak vonis hakim, dan masih ada berbagai upaya hukum yang tersedia, seperti banding ke pengadilan tinggi.
"Majelis memberi opsi pengampunan seakan HRS sudah menerima dan menjadi persoalan pribadi dengan Presiden Jokowi. Sosok yang juga disoroti publik terkait masalah kerumunan saat COVID-19, dan berbagai pernyataannya dinilai tidak terbukti di lapangan seperti ekonomi yang meroket. Padahal, dengan adanya pernyataan banding, putusan PN Jakarta Timur ini belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Alternatif grasi belum bisa diberikan. Masih tersedia upaya hukum biasa, seperti banding dan kemudian kasasi. Atau ada pula upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali. Opsi hakim tersebut sangat tidak lazim," ujarnya.
Karena itu, HNW mendukung HRS untuk mencari keadilan melalui permohonan banding pengadilan tinggi agar menghadirkan vonis majelis hakim yang benar-benar adil dan profesional.
"Sudah sangat wajar dan benar apabila upaya banding yang ditempuh. Ini juga untuk menunjukkan kepada masyarakat baik aparat maupun rakyat bahwa Habib Rizieq selalu menaati prosedur hukum yang berlaku di Indonesia," ujarnya.
HNW berharap, pengadilan tinggi akan mengadili perkara ini secara independen, objektif, adil, dan proporsional, untuk menyelamatkan marwah dan membuktikan adanya negara hukum yang berkeadilan.
"Agar dengan demikian kembalilah kepercayaan rakyat, tidak menimbulkan keonaran dan kerumunan, apalagi saat ini COVID-19 semakin membahayakan," kata dia.
(ega/ega)