Banda Aceh - Perempuan-perempuan yang tidak berpakaian muslimah dan memakai baju ketat acap ditangkap oleh petugas wilayatul hisbah (WH) alias polisi Syariat Islam di Banda Aceh akhir-akhir ini. Spanduk-spanduk yang meminta perempuan menutup aurat ramai dipasang.
Perempuan yang Tidak Berjilbab Adalah Syaitan, demikian bunyi salah satu spanduk. "Terus terang, saya terpaksa memakai jilbab ini karena saya memang tidak mau berjilbab. Tapi karena takut ditangkap WH, saya pakai saja," aku Yunita, salah seorang warga Banda Aceh pada detikcom, Senin (20/3/2006). Itulah fenomena yang terjadi pada sebagian perempuan di Aceh. Mereka memakai jilbab hanya karena ada aturan yang mengatur perempuan harus menutup auratnya, sesuai dengan Qanun No 11 tahun 2002. Jadi dasar mereka berjilbab bukan karena ajaran agama menuliskan bahwa memakai jilbab atau menutup aurat itu wajib hukumnya bagi perempuan muslim. Salah satu aktivis perempuan Aceh, Rosmawardani SH, pada detikcom di tempat terpisah mengatakan, pemakaian jilbab sebenarnya tak bisa dipaksakan. Yang paling penting menurutnya adalah bagaimana menyadarkan para perempuan di Aceh untuk memakai jilbab dengan cara memperbaiki aqidah masing-masing. "Tidak bisa dipaksakan jilbab itu jika tidak ada pendidikan soal itu (menutup aurat). Kenapa mereka tidak paham, bahwa mereka harus berjilbab atau harus menutup auratnya, karena mereka tidak belajar soal aqidah. Hanya waktu TK atau SD saja mungkin mereka belajar soal aqidah. Setelah itu tidak lagi, jadi dia tidak paham kenapa aurat itu harus ditutup, apa hukum menutup aurat, kenapa harus menutup aurat," terangnya. Sayangnya, lembaga dan instansi terkait di Aceh tidak melihat fenomena ini. Diperparah lagi tidak adanya sosialisasi dan pendidikan dalam keluarga dan lingkungan. "Jadi tidak ada gunanya razia jilbab kemudian membagi-bagikan jilbab. Hanya sebulan saja mereka pakai, setelah itu tidak. Lebih baik buat kelompok-kelompok kecil untuk perempuan dan bekali mereka dengan pengetahuan soal aqidah," usulnya. Sementara, di mata Elvida, Direktur LSM Flower -- sebuah LSM lokal yang
concern terhadap isu perempuan -- pelaksanaan Syariat Islam di Aceh cenderung diskrimatif terhadap perempuan. "Mungkin karena dalam proses pembuatan qanun soal Syariat Islam ini perempuan di Aceh kurang dilibatkan. Jadi bisa kita lihat misalnya, selalu saja perempuan yang dirazia, kenapa laki-laki yang misalnya tidak salat Jumat tidak dirazia," kritiknya. Menurut Elvida, banyak sisi lain yang seharusnya menjadi fokus pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. "Korupsi adalah isu yang paling besar di Aceh. Tetapi kenapa sampai sekarang tidak ada qanun yang mengatur hal tersebut," sesalnya. Jika persoalan menutup aurat pada perempuan menjadi fokus utama penegakan Syariat Islam saat ini di Aceh, harus ada kesepakatan atau aturan, pakaian seperti apa yang dinilai cukup Islami. "Karena banyak juga perempuan yang sudah memakai jilbab, tapi masih ditangkap. Hanya misalnya si perempuan mengikatkan jilbabnya ke belakang dan tidak dibuat menutupi dadanya. Atau pakaian yang dikenakannya dinilai ketat. Jadi, harus ada kesepakatan soal itu. Biar tidak salah kaprah WH-WH itu menangkap para perempuan. Ada standar berpakaian muslimah yang disepakati dan disosialisasikan kepada masyarakat sehingga tidak terjadi pelanggaran hak terhadap perempuan," tukasnya. Begitulah, perempuan memang mendapat "perhatian lebih" dari proses pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Misalnya di Bireun, Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) setempat mengeluarkan fatwa yang melarang perempuan bekerja malam hari dan pemisahan siswa di sekolah. Terkait hal ini, Cut Hasniati, Direktur Perempuan dan Anak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias dalam tulisannya di media Seumangat -- keluaran BRR -- menanggapi bahwa saat ini banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Jika dilarang bekerja, apakah pemerintah daerah sudah punya kapasitas dan kemampuan yang cukup untuk memberi kompensasi kepada mereka sebesar penghasilan yang mereka terima setiap kali mereka bekerja pada malam hari, begitu gugat Cut Hasniati. Padahal, kata Rosmawardani, Islam tidak diskrimatif terhadap perempuan. Lantas kenapa terkesan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh diskrimatif terhadap perempuan? Menurutnya, hal itu karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan para penegak Syariat Islam di Aceh. "Islam sangat menghormati perempuan, harkat dan martabat perempuan sangat dihormati. Tapi karena terbatasnya ilmu kita memahaminya sehingga kita hanya memahaminya sepotong-sepotong," pendapatnya.
Foto:Plang peringatan memakai baju muslimah
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini