Dalam artikel terdahulu disinggung empat struktur makna batin Al-Qur'an, yaitu makna ibarah, makna isyarah, makna lathaif, dan makna haqaiq Al-Qur'an. Makna ibarah sebagaimana dapat dilihat di dalam kitab-kitab terjemahan dalam berbagai Bahasa. Sang penerjemah berusaha menghindari makna-makna krusial dan kontroversi, yang memerlukan pembahasan mendalam. Bisanya makna ibarah berusaha untuk menghindari penggunaan takwil atau tafsir yang terlalu jauh (passing over), walaupun dalam beberapa kitab terjemahan menyimpan pembahasannya dalam catatan kaki secukupnya. Terjemahan Bahasa Inggeris oleh Yusuf Ali bisa menjadi contoh terjemahan yang baik karena memberikan ruang pembahasan tambahan dalam catatan kaki sejumlah ayat yang tidak bisa difahami tuntas di dalam terjemahan.
Analisis makna lathaif terhadap Al-Qur'an bisa dicontohkan sebagai berikut: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (Q.S. al-Isra'/17:1).
Dalam kaedah Tafsir, jika ada satu surah atau ayat yang diawali dengan kata subhana berarti "Maha Suci Tuhan", maka ayat itu menunjukkan adanya keajaiban di dalamnya, yang tidak cukup hanya dianalisis secara rasional tetapi dibutuhkan penghayatan dan perenungan lebih mendalam. Tidak cukup hanya dianalisis dengan metodologi hushuli tetapi juga harus dengan metodologi hudhuri. Dengan kata lain, ayat itu selain memiliki makna denotative-exoteric juga memiliki makna conotative-esoteric. Cara pandang kita terhadap ayat di atas selama ini masih lebih menekankan aspek denotative-exoteric. Terbukti peringatan Isra' Mi'raj yang secara rutin diperingati dan dirayakan dengan tanggal merah yang meliburkan seluruh sekolah, kampus, dan kantor-kantor secara nasional, yang lebih bersifat seremonial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping diawali dengan kata subhana, ayat ini juga kemudian dipilih menjadi nama surah (S. al-Isra'). Surah al-Isra' diapit oleh dua surah yang serasi yaitu surah al-Nahl dan surah al-Kahfi. Surah al-Nahl sering diangkat sebagai simbol kecerdasan rasional, karena di dalamnya diungkapkan cerita lebah yang sangat menantang dunia keilmuan. Lebah yang menghasilkan madu sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit masih menyimpan berbagai misteri di dalamnya. Sedangkan surah al-Kahfi, yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual, karena di dalamnya digambarkan berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan. Sementara surah Al-Isra' sendiri sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional karena di dalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan perestasi puncak setiap orang.
Surah al-Isra' sering disebut "surah tiga serangkai", yaitu S. al-Nahl, S. al-Isra', dan S. al-Kahfi. Surah pertama banyak diuraikan masalah sains, seperti kimia, biologi, dan fisika, yang cukup menantang akal dan logika manusia, termasuk mengungkapkan kekhususan lebah madu (al-nahl) yang kemudian menjadi nama surah ini. Disertasi Prof Andi Mappatoba dari Universitas Hasanuddin Makassar telah mengkaji begitu banyak kelebihan lebah madu untuk kesehatan dan peningkatan daya tahan tubuh manusia. Bukan hanya madunya, tetapi sarang lebah dan sengatan lebah juga memiliki efek penyembuhan. Surah kedua, al-Isra', diungkapkan sejumlah ayat yang bisa dikaji secara akal dan sebagian lainnya harus menggunakan keyakinan, sebagaimana akan diuraikan nanti. Surah ketiga, yakni S. al-Kahfi, banyak diungkapkan hal-hal yang tidak bisa dicerna akal. Di antaranya dikisahkan ada hamba Tuhan yang tertidur (fana') selama 309 tahun (Q.S. al-Kahfi/18:25).
Di dalamnya juga dikisahkan pertemuan dua tokoh yang memiliki perspektif yang berbeda, yakni Nabi Musa yang saat itu masih cenderung menggunakan epistimologi keilmuan logika (knowledge by correspondent) dan Khidhir yang sudah lebih cenderung menggunakan epistimologi keilmuan spiritual (knowledge by present). Rangkaian surah tiga serangkai ini mengisyaratkan kepada kita bahwa akumulasi ilmu pengetahuan tidak pernah final. Sehebat apapun sebuah produk rasional tidak pernah terbebas dari kepentingan dan suasana subyektif. Itulah sebabnya, kosmologi Islam tidak pernah berhenti di level manusia, tetapi semuanya terpulang kepada Yang Maha Tahu. Allah Swt sudah mengingatkan, jika akalnya sudah mentok maka bertanyalah kepada ahli dzikir (Q.S. al-Anbiya'/21:7). Urutan penempatan surah-surah tersebut mengisyaratkan adanya sistematisasi di dalam Al-Qur'an. Untuk memahami kedalaman makna surah al-
Isra' sebaiknya kita memahami S. al-Nahl. Untuk mendalami S. al-Kahfi sebaiknya terlebih dahulu kita memahami S. al-Isra'.
Pertanyaan lain yang sering mengusik pikiran kita kenapa perjalanan spiritual dalam lintasan sejarah Islam hampir semuanya terjadi di malam hari? Kenapa bukan di sing hari? Isra' Mi'raj sebagai perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Aqsha, Palestina, dan Mi'raj ialah perjalanan vertical dari Masjid Aqsha ke Sidrat al-Muntaha. Perjelasan Isra' mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika dengan menghubungkannya dengan kendaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi'raj hanya bisa didekati dengan iman. Mengapa Allah Swt memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah Swt.
Di dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertambah panjanglah, wahai subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam. Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Makna lailah dalam ayat pertama surah al-Isra' menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam karena sang isteri, Khadijah, dan sekaligus pelindung dan penyandang dananya baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncah yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah diinstol dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat tidak sanggup lagi menembus puncak batas spiritual tersebut, karena energinya hanya terbatas sampai batas yang ditentukan. Sedangkan Nabi saat itu terus melejit ke atas sampai ke puncak yang lebih dikenal dengan Sidrah al-Muntaha, Sebuah tempat yang tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di Sidrah al-Muntaha ini Nabi Muhammad Saw membuktikan diri sebagai sosok figur yang istimewa, diberi kesempatan sampai ke puncak. Meskipun sudah tiba di puncak spiritual tetapi Nabi memilih untuk turun kembali ke bumi demi umatnya.
Analisis secara makna isyarai sesungguhnya masih dimungkinkan dibahas lebih luas dan lebih mendalam dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, tetapi dalam tulisan ini hanya dilibatkan beberapa sudut pendekatan saja. Dalam analisis makna lathaif, analisis rasional sudah mulai dibatasi oleh analisis yang bersifat spiritual-batiniyah, sebagaimana bisa dilihat di dalam kitab-kitab tafsir isyari. Allahu a'lam.
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)