Para penyintas COVID-19 kerap dibayang-bayangi stigma negatif terhadap lingkungan sekitarnya, bahkan diri sendiri. Stigma publik itu, yakni adanya pandangan bahwa penderita COVID-19 sangat menular dan berbahaya sehingga memunculkan perilaku yang diskriminatif, seperti mengusir penderita dari kediamannya atau mengucilkan penderita dan keluarganya.
Sementara stigma yang muncul dari diri sendiri adalah adanya perasaan negatif bahwa dirinya tidak berharga, putus asa, atau tercemar ketika divonis atau positif.
Dilansir Panduan Kesehatan Jiwa pada Masa Pandemi COVID-19 yang diterbitkan oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 diungkapkan bahwa stigma tersebut timbul karena penyakit relatif baru dan masih banyak yang belum diketahui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, masyarakat sering kali merasa takut dengan hal-hal yang tidak diketahui. Penyebab lainnya adalah sangat mudah untuk mengaitkan ketakutan itu dengan hal lain.
Adapun stigma tersebut menimbulkan dampak serius. Pertama, penderita menyembunyikan penyakitnya. Kedua, menghalangi orang lain untuk mencari layanan kesehatan secara cepat. Dampak terakhir adalah membuat orang lain enggan untuk memberi bantuan atau bahkan mengasingkan pasien atau keluarga maupun tenaga Kesehatan.
Para penyintas dapat melawan stigma negatif yang datang. Beberapa caranya adalah,
1. Membekali diri dengan informasi yang akurat;
2. Mengenali sumber informasi yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi kesalahpahaman gosip, dan informasi yang keliru karena akan menimbulkan stigma dan diskriminasi; dan
3. Menumbuhkan perasaan peduli dan semangat gotong royong dalam berbagai kelompok masyarakat dengan menggunakan bahasa yang simpatik dan empati dalam mengemukakan semangat perjuangan khususnya bagi mereka yang berada di garis depan.
Simak juga 'Epidemiolog Sarankan di Rumah Saja untuk Tekan Lonjakan Kasus Covid-19':