UU Perkawinan prinsipnya hanya mengakui pernikahan pasangan satu keyakinan/agama. Namun dalam praktiknya banyak ditemui pasangan yang beda agama ingin menikah di Indonesia dan diakui negara. Tapi bagaimana caranya agar diakui negara?
Berikut pertanyaan yang didapat detik's Advocate:
Salam hangat detik's Advocate
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas rubrik konsultasi ini, menjadikan kami banyak tahu hal-hal hukum yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti saya yang mempunyai masalah yaitu akan menikahi kekasih saya yang berbeda agama. Saya muslim dan calon istri saya nonmuslim. Kami berencana akan menikah dengan keyakinan masing-masing. Namun terkendala aturan yang ada.
Pertanyaan:
1. Apakah salah satu dari kami harus memeluk agama lainnya agar bisa dinikahkan secara hukum negara?
2. Bagaimana bila kami tetap dengan keyakinan kami, agar pernikahan kami secara hukum negara diakui?
3. Apakah kami harus ke luar negeri untuk mencatatkan pernikahan kami dengan keyakinan masing-masing, agar bisa diakui oleh negara Indonesia?
Mohon jawabannya.
Terimakasih
Untuk menjawab permasalahan di atas, kami menghubungi advokat Rusdianto Matulatuwa,S.H. Berikut pendapat hukumnya:
Terima kasih atas kesempatan kepada Penulis pada kesempatan kali ini karena dapat memberikan kontribusi dan pencerahan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini ada di dalam kehidupan masyarakat modern.
1.Bahwa Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi pasangan suami istri. Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin, karena itu dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu latar belakang kehidupan itu adalah agama hal ini tentunya selaras dengan bunyi Pasal 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Agama menurut ahli sosiologi merupakan sesuatu yang sangat potensial untuk menciptakan integrasi, di sisi lain persamaan agama dapat lebih menjanjikan terciptanya sebuah keluarga yang kekal, harmonis, bahagia lahir dan batin, daripada menganut aliran heterotheism (antar agama) yang sangat rentan terhadap terjadinya perpecahan, tidak harmonis, tidak bahagia dan tidak sejahtera, atas dasar dari latarbelakang pemahaman inilah sehingga dasar-dasar dari syarat sahnya suatu perkawinan yang tertuang di dalam Pasal 2 (ayat 1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Pasal ini sarat dengan suasana kebatinan dalam norma agama dan kepercayaan yang memberikan ruang kepada pemuka agama yang ada di Indonesia untuk mensahkan perkawinan sesuai dengan agama yang dianut masing-masing warga negaranya.
Sehingga melihat dari semangat dari kehadiran Undang-Undang Perkawinan apabila ada Warga Negara yang hendak melangsungkan pernikahan yang di wilayah Indonesia maka salah satu pasangan tersebut wajib untuk menundukkan diri dan memilih pada salah satu hukum agama yang berlaku dalam rangka pemenuhan syarat-syarat pernikahan yang telah dipilih agar dapat disahkan dan dicatatkan oleh negara.
2.Jika pasangan yang akan melakukan pernikahan tersebut masih berketetapan ingin melakukan pernikahan sesuai dengan keyakinannya masing-masing /Perkawinan berbeda agama hal tersebut tentu tidak dapat diakomodir di dalam Undang-Undang Perkawinan ini sehingga berpotensi terhadap kerugian akibat perkawinan karena tidak didasarkan pada UU 1/1974, khususnya bagi wanita (istri) dan anak nantinya sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak?
Di sinilah titik krusialnya dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan.
Jawaban selengkapnya di halaman berikutnya.
Perkawinan sah jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tertentu, dengan kata lain jika anda menikah di Singapura maka anda harus mengikuti ketentuan hukum tata cara pernikahan di negara tersebut. Setelah anda menikah di negara Singapura, anda harus melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil Indonesia.
Hal itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan:
"Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka".
Hal ini dengan dikeluarkannya ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, di mana dalam salah satu Pasalnya, yaitu Pasal 35 butir a menyatakan hal demikian sepanjang pencatatan perkawinan tersebut telah melalui penetapan Pengadilan, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan pada Instansi Pelaksana.
Hal ini di jelaskan dalam penjelasan dari Pasal 35 butir (a) UU Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.
Berarti dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Administrasi Kependudukan tersebut membuka kesempatan bagi para pasangan yang berbeda agama untuk mencatatkan perkawinannya.
Demikian yang dapat penulis pada kesempatan yang sangat terbatas ini, terima kasih.
Rusdianto Matulalatuwa, S.H.
RUSDIANTO MATULATUWA & REKAN
Gedung Graha Pratama
20th Floor, Ruang M.Luthfie Hakim, Jalan MT Haryono Kav 15
Jakarta, 10220, Telp : (021)83709926
Email : rusdiantomatulatuwa@gmail.com
Beberapa kasus yang ditangani Rusdianto seperti menjadi kuasa Perkara Terorisme Bom Bali I, kuasa hukum Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, Uji Materi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berkaitan dengan anak luar nikah atas nama Machicha Mochtar alias Aisyah Mochtar di MK, dan kuasa hukum untuk judicial review kenaikan tarif BPJS Kesehatan di MA.
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh tim detik, para pakar di bidangnya serta akan ditayangkan di detikcom.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email:
redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Berhubung antusias pembaca untuk konsultasi hukum sangat beragam dan jumlahnya cukup banyak, kami mohon kesabarannya untuk mendapatkan jawaban.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Salam
Tim Pengasuh detik's Advocate