Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan meminta pemerintah meninjau kembali rencana merevisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Dia menilai revisi tersebut akan membawa dampak besar tidak hanya bagi negara, tapi juga industri hasil tembakau (IHT) dari hulu ke hilir.
"Pemerintah harus berhati-hati untuk mengambil kebijakan yang sifatnya strategis. Apalagi kalau urusannya terkait dengan nasib petani, buruh, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan industri tembakau," ujar Daniel dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/5/2021).
Dia menyebut sejumlah kalangan telah menolak rencana revisi PP 109/2012 karena dinilai tidak memiliki landasan kuat terhadap kepentingan negara. Terlebih mengingat sebagian besar pendapatan negara berasal dari cukai hasil tembakau atau rokok, yang mencapai ratusan triliun per tahun.
"Secara makro negara mendapat keuntungan dari industri rokok mencapai Rp 100-an triliun per tahun, bukan berterima kasih dan mempermudah hidup petani tembakau, kok malah dibalas dengan yang membuat hidup petani semakin susah," tuturnya.
Baca juga: Industri Hasil Tembakau Pincang, karena Apa? |
Menurut Daniel, selama ini aturan yang terkandung di dalam PP 109/2012 sudah cukup baik. Pemerintah hanya perlu mengawasi penerapannya di lapangan. Dia mengatakan, apabila revisi aturan ini dipaksakan, akan berimbas pada IHT beserta turunannya.
Diketahui ada lebih dari 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tembakau, mulai petani tembakau, petani cengkih, pengecer/pedagang asongan, pengusaha transportasi, hingga tenaga kerja pabrikan rokok.
"Ini semua bergantung pada usaha di bidang pertembakauan dan turunannya. Tidak ada urgensi yang mendesak untuk melakukan revisi PP 109 ini. Justru sebaliknya akan merugikan negara," jelasnya.
Diungkapkannya, revisi peraturan ini akan semakin mengancam keberlangsungan IHT yang sudah tertekan akibat pandemi. Di samping itu, bisa membuka peluang masalah baru dengan naiknya angka pengangguran.
"Adanya revisi ini akan membuka lubang PHK besar-besaran karena dampak terbesar yang dirasakan pada IHT itu sendiri. Sementara rantai industri IHT hulu-hilir saling terhubung. Jika salah satu saja yang putus, akan merusak tatanan industri itu sendiri. Yang rugi siapa? Tentu negara, karena menyebabkan pengangguran secara sistematis melalui peraturan yang sah," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, dia mendorong pemerintah lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan yang menentukan nasib banyak orang. Hal ini agar kebijakan yang dibuat bisa melindungi nasib rakyat kecil, seperti petani. Dia pun meminta pemerintah berfokus pada masalah yang lebih penting, yaitu penanganan pandemi Corona di Indonesia.
"Saya meminta agar ada kajian yang komprehensif yang mengutamakan kepentingan petani, apalagi di tengah pandemi ini mencari pekerjaan sangat susah, PHK di mana-mana. Saya tentu menolak karena pertimbangan terhadap nasib jutaan tenaga kerja terutama petani yang harus kita lindungi," tandasnya.
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan tengah mengebut revisi PP No 109 Tahun 2012 dalam rangka mencapai target kesehatan yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Utamanya terkait target penurunan jumlah perokok anak, yang tingkat prevalensinya sudah mencapai 9,1 persen menurut data Riskesdas.
PP 109/20212 dinilai tidak cukup ketat dalam mengatur pengendalian produk rokok maupun pembatasan komunikasi produsen dengan konsumen. Adapun fokus utama revisi PP 109/2012 terletak pada perluasan gambar peringatan kesehatan dari yang semula 40 persen menjadi 90 persen, serta pelarangan total promosi dan iklan di berbagai media, termasuk tempat penjualan.