Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menggelar Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Negeri Udayana. Di kesempatan tersebut, Bamsoet mengapresiasi dukungan civitas akademika Universitas Negeri Udayana kepada MPR agar kembali memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Sebelumnya, dukungan lain juga datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta berbagai Organisasi Keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu serta civitas akademika Universitas Ngurah Rai.
"Agar MPR RI memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan PPHN, perlu dilakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945 yang hanya menyasar dua hal utama. Pertama, penambahan ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk menyusun dan menetapkan PPHN. Kedua, penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN. Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan materi amandemen di luar materi PPHN yang sudah teragendakan," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis, Selasa (11/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ketua DPR RI ke-20 ini, substansi PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 50-100 tahun ke depan.
"Sehingga mampu menggambarkan posisi Indonesia dalam megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim, serta pemajuan dunia pendidikan yang semuanya akan berpengaruh pada pola pembangunan nasional," katanya.
Bamsoet juga menjelaskan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pada dasarnya sejalan dengan tujuan nasional lainnya. Adapun seluruhnya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan dan memilih pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1). Hak mendapat pendidikan juga diakui sebagai bagian dari hak asasi yang melekat pada fitrah kemanusiaan sebagai warga negara," jelas Bamsoet.
Lebih lanjut ia mengatakan sejak tahun anggaran 2015, pemerintah bersama DPR telah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam APBN 2015, anggaran tersebut berjumlah sekitar Rp 390,1 triliun, sedangkan APBN 2016 sekitar Rp 370,4 triliun dan APBN 2017 sekitar Rp 419,8 triliun. Selanjutnya, pada APBN 2018 anggaran bernilai sekitar Rp 444,1 triliun, APBN 2019 sekitar Rp 492,5 triliun, APBN 2020 sekitar Rp 508,1 triliun, serta di APBN 2021 sekitar Rp 550 triliun.
Meskipun demikian, Bamsoet menilai besarnya anggaran pendidikan masih jauh dengan kualitas yang dihasilkan. Terlebih kemampuan pelajar Indonesia masih berada di peringkat bawah.
"Secara jujur harus diakui, besarnya anggaran sektor pendidikan tersebut belum berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Merujuk survei kemampuan pelajar yang dirilis Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Tertinggal dari Malaysia di urutan ke-56 atau Singapura di urutan ke-2," ungkap Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan laporan UNDP (United Nation Development Programme) mencatat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2020 berada di urutan 107 dari 189 negara. Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Singapura (rangking 11), Brunei Darussalam (ranking 47), Malaysia (ranking 62), dan Thailand (rangking 79).
Oleh karena itu, PPHN diharapkan dapat melahirkan para pelajar yang berkualitas, cerdas dan berkarakter.
"Melalui PPHN, pola pembangunan pendidikan akan dilihat secara holistik. Pendidikan nasional harus melahirkan sumber daya manusia yang tidak sekadar cerdas secara akademis. Tetapi juga mempunyai jati diri yang unggul, yang berkarakter Pancasila," tegas Bamsoet.
Bamsoet juga menekankan agar sebaiknya tak ada lagi kelalaian untuk menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai rujukan moral pendidikan nasional. Menurutnya, hal tersebut dapat dilakukan dengan tidak memperhatikan amanat undang-undang yang mewajibkan Pancasila sebagai mata kuliah/pelajaran wajib di perguruan tinggi.
"Menghadirkan Pancasila dalam diskursus akademis di lingkungan pendidikan tinggi adalah keniscayaan. Karena kampus adalah tempat generasi muda bangsa digembleng dan dipersiapkan sebagai sumberdaya pembangunan," kata Bamsoet.
Dewan Pakar KAHMI ini pun menegaskan menempatkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi tak boleh berhenti pada tahap pelembagaan. Hal ini mengingat Pancasila merupakan sebuah sistem nilai dalam kehidupan.
"Untuk merawat kearifan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka Pancasila harus diterima dan dihayati, dipraktikkan sebagai kebiasaan. Bahkan dijadikan sifat yang menetap atau watak setiap manusia Indonesia," pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam kesempatan tersebut turut hadir para pejabat struktural Universitas Udayana, antara lain Rektor Universitas Udayana Prof DR Raka Sudewi, Wakil Rektor Bidang Akademik I Prof DR Nyoman Gde Antara, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Informasi Prof DR Ida Bagus Wyasa Putra, Hakim Konstitusi RI periode 2003-2008 dan 2015-2020 DR I Dewa Gede Palguna , serta 1.500 mahasiswa Universitas Udayana yang hadir secara daring.
(fhs/ega)