Polri membentuk virtual police untuk mencegah penyebaran hoax hingga ujaran kebencian. Kehadiran virtual police dinilai bisa menekan tindak pidana siber yang terjadi di ruang maya.
Ahli hukum pidana Prof.Dr. Andre Yosua, SH, MH, PhD mengatakan penegakan hukum tidak melulu harus dilakukan dengan tindakan represif. Virtual police merupakan terobosan yang sesuai dengan perkembangan sosial kultur dalam menekan kejahatan siber.
"Penegakan hukum bukanlah hanya tindakan represif semata dan seringkali sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial kultur," ujar Andre Yosua dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (10/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain upaya represif, penegakan hukum juga dapat dilakukan dengan upaya preventif dan persuasif. Virtual police dalam hal ini dinilai sebagai solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana siber.
"Dan ini yang dilakukan oleh Polri dengan virtual police dalam dunia siber. Langkah virtual police ini mampu menekan tindak pidana siber yang berujung kepada tindakan represif," katanya.
Andre Yosua juga berpendapat kehadiran virtual police tidak akan mengekang kebebasan dalam berpendapat. Namun, masyarakat harus ingat bahwa kebebasan berpendapat bukan berarti bablas bebas mengungkap apa saja tanpa mengetahui kebenaran informasi yang disebar terlebih dahulu.
"Kebebasan berpendapat bukanlah kebablasan, melainkan kebebasan bertanggung jawab dalam rangka setiap pendapat yang dikemukakan harus berdasarkan fakta, bukti dan nalar sehat. Bukan kebebasan yang malah menyesatkan atau mempengaruhi netizen untuk mempercayai suatu pendapat/berita yang nilai kebenaran nya tidak dapat di pertanggungjawabkannya," paparnya.
Virtual police bertugas memantau media sosial untuk menjaga ruang digital tetap sehat. Virtual police dilakukan dengan partoli siber di dunia maya, setiap harinya.
Tim patroli Dittipidsiber nantinya akan mengirim pesan berupa direct message (DM) berupa peringatan di dalam pesan tersebut. Di dalam pesan tersebut disampaikan bahwa konten itu mengandung pelanggaran atau hoax.
Sebagai contoh, jika seseorang meng-upload konten pada tanggal sekian, kemudian nantinya akan dikirimkan pesan dari tim Ditipidsiber Polri melalui direct message. Dalam pesan itu, polisi mengingatkan konten yang di-upload seseorang berpotensi melanggar hukum, sehingga konten tersebut diminta dihapus, kemudian polisi akan memberi peringatan sebanyak 2 kali. Jika tidak diindahkan, akan dilakukan pemanggilan secara tertutup terhadap orang yang meng-upload konten tersebut, sebelumnya konten tersebut telah diverifikasi dulu kepada ahli bahasa, ahli ITE, dan ahli pidana. Ia menyebut penindakan merupakan upaya terakhir.
Sejak diluncurkan pada Februari 2021 lalu, Polri telah menegur 409 akun media sosial dan 1.246 proses diblokir. Dari angka tersebut, virtual police paling banyak menegur akun media sosial yang mengandung unsur SARA.
(mei/fjp)