Menganggap Perbedaan Sebagai Sunnatullah

Kontrovesi yang Dilakukan Nabi dan Sahabat

Menganggap Perbedaan Sebagai Sunnatullah

Prof. Nasaruddin Umar - detikNews
Sabtu, 08 Mei 2021 04:58 WIB
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar
Foto: M. Fakhry Arrizal
Jakarta -

Dalam Islam sendiri sudah ditegaskan bahwa keberadaan multi etnik dan agama tidak mesti difahami sebagai sebuah ancaman. Sebaliknya Islam menganggapnya sebagai sebuah kekayaan yang bisa mendatangkan berbagai berkah. Al-Qur'an pernah menegaskan bahwa: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99).

Perhatikan ayat ini menggunakan kata lau (wa lau sya' Rabbuka), yang dalam kebiasaan Al-Qur'an jika digunakan kata lau, bukannya in atau idza yang memiliki arti yang sama, yaitu "jika". Kekhususan penggunaan lau adalah isyarat sebuah pengandaian yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau terwujud. Kata idza mengisyaratkan makna kepastian akan terjadinya sesuatu, sedangkan kata in mengisyaratkan kemungkinan kedua-duanya, bisa terjadi atau bisa tidak terjadi.
Ayat tersebut juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertanya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salahsatu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.

Menyampaikan misi dakwah dan petunjuk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apalagi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak progregatif Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Qashash/28:56).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt, seperti yang dinyatakan di dalam ayat: Di dalam ayat lain Allah Swt lebih tegas menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan". (Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat lain Allah Swt memberikan suatu pernyataan indah: "Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain". (Q.S. Yusuf/12:67).

Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt menciptakan hambanya tidak seragam. Dalam perspektif tasawuf dijelaskan bahwa semuanya itu sesungguhnya sebagai perwujudan nama-nama-Nya (al-asma' al-husna') yang bermacam-macam. Setiap nama-nama tersebut menuntut pengejahwentahan di dalam alam nyata. Orang-orang yang menolak pluralitas dan kemajmukan sosial lalu mengindokytrinasikan keniscayaan sebuah negeri universal di bawah satu kepemimpinan, bukan saja terlalu sulit diwujudkan tetapi Islam sendiri mengenyampingkan gagasan itu dengan berdasar pada ayat-ayat tersebut di atas.

Bagi kita sebagai warga bangsa Indonesia yang ditakdirkan menjadi negara majmuk dan plural, harus dianggap sebagai sebuah rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kenyataan ini bisa menjadi asset bangsa, meskipun juga bisa menjadi sunber ancaman jika salah dalam mengelolanya. Keberadaan multi etnik dan multi agama di Indonesia sejauh ini lasih tampak sebagai kekayaan positif. Tugas genersi bangsa ini berikutnya bagaimana menjadikan kemajmukan etnik dan agama sebaga sebuah kekayaan bangsa. Allahu a'lam.

ADVERTISEMENT

Prof. Nasaruddin Umar

Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta


Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis

(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads