Satgas Penanganan COVID-19 mengumumkan larangan mudik lokal di kawasan aglomerasi dengan catatan kegiatan nonmudik tetap diizinkan. Aturan ini disoroti Komisi IX DPR RI.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena mengatakan pemerintah pasti sudah mempersiapkan larangan mudik di wilayah aglomerasi. Namun, menurutnya, pemerintah harus menjelaskan parameter dan ukuran-ukuran larangan mudik di kawasan aglomerasi tersebut.
"Ukuran pemberlakuan kegiatan nonmudik dan kegiatan mudik di kawasan aglomerasi yang itu adalah kawasan terintegrasi dari beberapa kota/kabupaten tentu sudah dipersiapkan oleh pemerintah dan kami percaya sudah diturunkan ke petugas di lapangan satgas penangan COVID di kabupaten dan kota, tentu parameter-parameternya, ukuran-ukurannya, pemerintah nanti perlu sampaikan ke publik yang sudah dipersiapkan," kata Melki saat dihubungi, Jumat (7/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melki menyebut larangan tanpa memberikan parameter tentu akan membingungkan masyarakat. Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu segera menjelaskan parameter apa yang menentukan seseorang melakukan mudik dan tidak melakukan mudik di wilayah aglomerasi.
"Ini kan bisa dijelaskan dan tentu ukuran-ukuran ini kami harap pemerintah bisa segera sampaikan ke publik sehingga nanti tidak membingungkan dan bisa membuat publik lebih jelas dalam memaknai kebijakan melarang mudik di kawasan aglomerasi dan nonmudik dipersilakan," ucapnya.
Lebih lanjut, Melki memberi beberapa contoh parameter yang mungkin bisa dipakai pemerintah membedakan antara yang mudik dan tidak mudik. Dia menyebut ada ciri yang mudah diketahui bagi masyarakat yang hendak melakukan mudik.
"Tentu misalnya bagi kegiatan mudik yang paling mudah kelihatan adalah ketika orang membawa sejumlah besar orang, kemudian misalnya membawa perabotan atau perlengkapan yang dalam jumlah besar itu kan kelihatan ya," ujarnya.
Kemudian Melki juga menyarankan pemerintah menggunakan syarat administrasi. Petugas di lapangan, kata dia, bisa mengecek syarat administrasi yang membuktikan masyarakat tengah melakukan kegiatan nonmudik di kawasan aglomerasi.
"Tentu yang paling bisa kita lihat secara administratif dan paling mudah adalah ketika orang memang bergerak dari satu kota atau kabupaten ke satu kota atau kabupaten di wilayah aglomerasi itu ternyata dia tidak membawa surat untuk izin atau mengatakan dia sementara bertugas di satu daerah tertentu, itu bisa jadi aturan administratif dan bisa dipakai," sebutnya.
Senada dengan Melki, anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay meragukan aturan larangan mudik di wilayah aglomerasi bisa diterapkan lantaran adanya kesulitan teknikal untuk membedakan antara orang mudik dan nonmudik di kawasan tersebut. Aturan tersebut, kata dia, bisa disalahtafsirkan oleh masyarakat.
"Aturan itu agaknya bisa disalahtafsirkan. Bisa jadi, orang ke Bekasi, misalnya. Katanya, jalan-jalan. Tetapi sesampai di sana, bertemu keluarga, teman, dan sanak saudara, ketemunya bisa di mal, di taman, di tempat wisata, atau di tempat lain. Atau bahkan, bisa berkunjung ke rumah sanak familinya secara langsung. Jika dihentikan polisi, ya mereka menyebutnya jalan-jalan ke mal atau ke tempat wisata. Terus bagaimana membedakannya? Bagaimana memverifikasinya?" ucap Saleh.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya.