Dalam periode 17 bulan sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto telah berkunjung ke berbagai negara untuk melakukan diplomasi pertahanan, seperti Rusia, Austria, Prancis, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Turki hingga Filipina.
Menurut Peneliti Center for ASEAN Energy Research Universitas Pertamina Ariscynatha Putra Ingpraja konteks diplomasi pertahanan Indonesia saat itu adalah adanya tensi politik AS dan China di Indo-Pasifik. Bila diplomasi tersebut efektif, maka RI bisa memiliki kekuatan militer yang disegani oleh AS dan China.
"Sedangkan untuk menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani, Indonesia sendiri masih dalam proses transformasi. Alutsistanya sudah banyak yang usang. Jumlah alutsista jika dibandingkan dengan luas ruang udara, perairan dan daratan relatif kecil," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia membandingkan Singapura dengan wilayah daratan seluas 728,3 kilometer persegi mampu mengoperasikan 40 F-15SG, 60 F-16 Blok 52, empat pesawat intai G550-AEW, enam tanker A330 MRTT, 96 tank Leopard 2SG, empat kapal selam dan enam fregat. Sementara Indonesia dengan luas ruang udara 8,3 juta kilometer hanya mengoperasikan 33 F-16 lama, 16 Su-27/30, tanpa pesawat AEW&C, satu tanker C-130B Hercules, empat kapal selam dan tujuh fregat.
"Artinya, pertahanan Indonesia membutuhkan akuisisi alutsista secara masif dan di sanalah muncul kebutuhan akan diplomasi pertahanan," terangnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan diplomasi pertahanan yang gencar dilakukan, itu untuk membuka akses terhadap akuisisi alutsista berteknologi maju. Sebab faktanya pembelian alutsista tidak berhenti sampai pada kemampuan sebuah negara untuk membeli, tetapi dibutuhkan pula perizinan dari pemerintah negara produsen alutsista.
Dalam kasus tertentu, dibutuhkan juga izin dari sejumlah negara lain yang terafiliasi dengan alutsista tersebut. Contohnya adalah F-35, yang merupakan pesawat tempur canggih bergenerasi lima yang sulit terdeteksi radar yang mampu mengusung empat rudal atau bom di dalam perutnya.
"Untuk akuisisi F-35, sebuah negara membutuhkan izin pemerintah AS dan juga urutan antrean dari negara-negara pembeli terdahulu F-35 yang akan membuat rencana akuisisi F-35 untuk TNI AU menghadapi kendala teknis. Di situlah diplomasi pertahanan dibutuhkan," ungkapnya.
Dia pun menjelaskan dengan banyaknya tujuan yang dapat disasar dari diplomasi pertahanan tersebut, maka setidaknya terdapat enam quid enim atau alasan diplomasi pertahanan, yaitu menegasikan ancaman, menghindari perang, mendapatkan manfaat di sektor lain, membangun external balancing, akuisisi alutsista modern, dan akuisisi teknologi kunci persenjataan modern.
"Oleh karena itu diplomasi pertahanan dibutuhkan dalam mendukung kepentingan di sektor pertahanan Indonesia. Diplomasi untuk pertahanan dan bukan pertahanan untuk diplomasi," tandasnya.
(prf/ega)