Kapal selam KRI Nanggala-402, yang bergabung ke TNI-AL sejak 1981, telah menjalankan banyak misi untuk menjaga kedaulatan NKRI. Laksamana Muda (Purn) Frans Wuwung, yang pernah menjadi Kepala Kamar Mesin di Nanggala, menyebut kapal itu pernah menjalankan misi ke perbatasan Timor Timur-Australia pasca jajak pendapat 1999.
Äda banyak kekuatan waktu itu yang mau masuk selain Australia. Tapi kemudian mereka ragu karena ada Nanggala di sana. Itu namanya efek deterrent," kata Frans Wuwung kepada tim Blak-blakan detikcom, Sabtu (24/4/2021).
Saat berpangkat Mayor, Frans Wuwung menjadi salah satu perwira yang dikirim ke Jerman Barat untuk mengikuti pendidikan kapal salam. Di sana dia juga terlibat langsung dalam proses uji coba Nanggala sebelum berlayar menuju Surabaya. Salah satu uji coba adalah menguji kekuatan Nanggala hingga 30 atmosfer absolut yang setara dengan kedalaman 300 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari galangan kapal Howaldswerke Deutsche Werf di Kiel, Nanggala berlayar selama dua bulan menuju Surabaya. Pelayaran langsung oleh para awak TNI-AL ini dikomandani oleh Letkol Arman. Selain Nanggala, kala itu Indonesia membeli Cakra yang memiliki spesifikasi sama. Cakra, yang dikomandani Letkol Antonius Sugiarto, tiba lebih dulu, 4 Juli 1981.
Pembelian dua kapal selam ke Jerman Barat itu merupakan perintah langsung Presiden Soeharto. Misi pembelian dipimpin Laksamana Abdul Kadir. Jerman Barat dipilih, kata Frans Wuwung, karena waktu itu sudah dikenal reputasi dan rekam jejaknya dalam pembuatan kapal selam.
"Kapal selam tipe U-209 yang dinamai Cakra dan Nenggala merupakan yang terbaik. Negara-negara Amerika Latin, Turki, dan Israel termasuk yang membelinya," papar Frans Wuwung yang pernan menjadi atase Angkatan Laut di Washington, DC, Amerika Serikat, 1991-1994.
Selengkapnya, saksikan dalam program Blak-blakan di detikcom, Senin (26/4/2021).
(jat/jat)