Cerita Dokter Spesialis Anak dari Timur Indonesia Hadapi Pandemi

Cerita Dokter Spesialis Anak dari Timur Indonesia Hadapi Pandemi

Nurcholis Ma'arif - detikNews
Rabu, 21 Apr 2021 22:40 WIB
nakes
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Pandemi merupakan beban bagi semua tenaga kesehatan, termasuk bagi dokter anak seperti Sri Riyanti Windesi yang kini mengabdi di RSUD Selebesolu Kota Sorong. Ia bercerita banyak tentang perjuangannya menghadapi pandemi dari daerah Timur Indonesia.

Awalnya ia menceritakan pandemi pada bulan Maret 2020 membuat lonjakan kasus berfluktuasi. Namun yang terparah waktu itu sekitar Juni-September 2020 untuk kasus anak, meski kebanyakan kasusnya ringan.

Ia mengakui awal ikut menangani pasien COVID-19 membuat keluarganya sangat cemas, apalagi saat itu pengetahuan tentang virus ini masih sangat terbatas. Meskipun cemas, dr Riyanti menyebut pihak keluarga sangat mendukung pekerjaannya, serta terus mengingatkan untuk selalu patuh protokol kesehatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, karena setiap hari kontak pasien dan keluar rumah di saat yang lain harus stay at home, dr Riyanti memilih pisah kamar tidur, kamar mandi dan semua peralatan yang dari luar harus didesinfeksi.

"Jujur sebagai manusia biasa pada awal merawat pasien COVID-19 saya sangat takut dan cemas. Apalagi setiap hari mendengar berita teman sejawat yang berguguran akibat COVID-19," kata dr Riyanti dalam keterangan tertulis, Rabu (21/4/2021).

ADVERTISEMENT

Dokter umum dan dokter spesialis anak dari Universitas Airlangga Surabaya ini juga mengatakan tantangan di awal pandemi di antaranya lingkungan sebagian ada yang percaya COVID-19, sebagian lagi tidak percaya dan menganggap dirinya berlebihan.

Begitupun ketika tenaga kesehatan mulai dapat bantuan mask N95, pihak rumah sakit malah dinilai sengaja membuat situasi nampak buruk agar bisa meng-COVID-kan pasien demi mendapat keuntungan.

"Sedih bila ada keluarga pasien yang menghujat nakes, mengatakan kami sengaja meng-COVID-kan semua pasien," ujar dokter kelahiran Kota Biak, Papua ini.

Dia menyayangkan jika ada keluarga pasien yang tidak jujur. Misalnya menyembunyikan hasil rapid anaknya yang reaktif dan membuat banyak tenaga kesehatan ikut terpapar. Apalagi awal pandemi jumlah APD masih sangat terbatas.

Waktu terus berjalan dengan suka duka yang dirasakan dr Riyanti. Sukanya kalau ada pasien sembuh, yang tadinya positif akhirnya swab-nya negatif dan boleh pulang. Senang melihat orang tua yang tadinya cemas bisa tersenyum lega.

"Senang juga saat hasil swab kami semua petugas yang terpapar hasil swab-nya negatif," tutur Riyanti.

Namun dukanya tentu saja kalau mendengar ada yang meninggal. "Meskipun pasien saya Alhamdulillah tidak ada yg meninggal karena COVID-19," katanya.

Karenanya, dr Riyanti menyesalkan melihat orang-orang yang masih melanggar, keluar rumah, dan kumpul-kumpul tanpa masker. Dia sempat merasa seandainya boleh memilih tentunya ingin tinggal di rumah saja dan tidak diliputi kecemasan setiap hari menjadi sumber penularan buat orang yang disayanginya di rumah.

"Dalam benak saya bila memang takdir membuat saya terkena paling tidak keberadaan saya memberi manfaat buat orang lain, soal hidup dan mati biarlah menjadi rahasia Allah SWT," katanya.

Hal lain yang tetap membuatnya kuat menghadapi kondisi ini adalah masih banyak teman, sahabat, keluarga yang mengapresiasi pekerjaan tenaga kesehatan, yang juga mendoakan agar tetap semangat dan menjaga diri. Tentu itu semua sangat membantu mengembalikan semangat dan menguatkan saat saya merasa lelah dan frustasi.

"Alhamdulillah makin ke sini saya makin tenang, makin bisa berdamai dengan pandemi ini, apalagi setelah makin banyak orang mendapat vaksinasi. Protokol kesehatan akhirnya menjadi prosedur tetap yang mengalir begitu saja, menjadi kebiasaan sehari-hari," ujar dr Riyanti.

Terkait kondisi pandemi saat ini, menurut dr Riyanti, di kota Sorong masih fluktuatif, kebanyakan kasus anak adalah klaster keluarga yang mana satu keluarga terpapar COVID-19 bersama. Hal ini sepertinya akibat mulai aktifnya kegiatan di luar rumah.

Banyak acara keluarga seperti pesta nikah, arisan keluarga, juga mulai masuk sekolah. Selain itu, sebagian masyarakat sudah mulai abai terhadap prokes sehingga kasus cenderung mulai meningkat. Lalu banyak orang tua yang menolak perawatan bila anaknya dicurigai terpapar COVID-19 dan memilih pulang serta menolak pemeriksaan lanjutan.

"Kasus kematian mulai meningkat lagi meskipun pada anak hingga saat ini sangat jarang dan semoga tidak ada," katanya.

Buat masyarakat yang masih abai terhadap protokol kesehatan, dr Riyanti mengingatkan, apakah bukti-bukti yang ada setahun ini masih kurang? Begitu banyak orang kehilangan keluarga apakah tidak cukup meyakinkan bahwa COVID-19 itu memang ada dan berbahaya? Ada juga yang beralasan sudah divaksin sehingga merasa tidak akan tertular COVID-19.

"Sudah divaksin bukan berarti kebal, vaksinasi COVID-19 hanya salah satu cara menurunkan tingkat penularan, prokes tetap wajib dijalankan," kata dr Riyanti.

Terakhir, dr Riyanti berharap pandemi segera berakhir, semua bisa melewati tanpa kehilangan orang-orang yang disayangi. Untuk itu diperlukan partisipasi aktif semua orang

dengan mematuhi protokol kesehatan dan ikut vaksinasi. Pemerintah dengan didukung masyarakat bersama-sama memperjuangkan negeri ini.

"Semoga kita bertemu di waktu yang akan datang tanpa ketakutan, rasa cemas, bisa menghirup udara bebas," tutur dr Riyanti.

(mul/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads