Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan untuk memberi grasi kepada terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron. Menurutnya, Ali Imron bisa menjadi role model kampanye deradikalisasi yang efektif di tengah maraknya propaganda radikalisme dan terorisme.
Ini mengingat, saat ini Ali Imron kerap diundang sebagai pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar untuk menceritakan penyesalannya atas perbuatan yang pernah dilakukannya dan mengajak para mantan muridnya untuk kembali ke jalan yang benar.
''Mendengar penyesalan dan semua penjelasan Ali Imron dalam setiap ceramahnya bahwa pemahaman jihad yang pernah dia pilih tidak sesuai dengan ajaran Islam, saya yakin hal tersebut bisa menjadi referensi bagi para teroris atau calon teroris untuk kembali ke jalan Islam yang rahmatan lil alamin," kata Ahmad Basarah dalam keterangannya, Sabtu (17/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut dia sampaikan dalam Webinar bertajuk 'Menangkal Kejahatan Terorisme Kontemporer di Indonesia' yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
Wakil Ketua Laziz PBNU ini melihat kesungguhan Ali Imron dalam bertobat sebagai teroris serta menimbang efektifitas keterlibatan Ali Imron dalam kampanye deradikalisasi dan antiterorisme tersebut. Untuk itu, dia pun berjanji akan menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan pemberian grasi kepada Ali Imron. Dengan harapan Ali bisa lebih semangat dan leluasa membantu mengampanyekan deradikalisasi dan antiterorisme.
"Insyaallah akan saya sampaikan usulan agar Ali Imron mendapatkan grasi Presiden dan saya akan jadikan Ali Imron sebagai salah satu narasumber dalam program Sosialisasi 4 Pilar MPR RI", ujar Ahmad.
Dia menilai, retorika Ali Imron yang mengajak semua kaum radikal untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi perlu disampaikan kepada publik secara kontinu. Dengan begitu semua penyesalan dan ajakannya untuk mencintai Indonesia dan ideologi Pancasila bisa didengar oleh masyarakat luas.
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Subandi dari Densus 88 Polri. Imam setuju apabila Ali Imron mendapatkan grasi karena pendapatnya sebagai seorang mantan teroris diyakini efektif untuk membantu program deradikalisasi.
''Jika hanya kami yang berbicara pentingnya deradikalisasi di forum-forum seperti ini, suara kami bisa jadi bias dan terkesan indoktriner. Tapi, jika yang menyampaikannya adalah seorang mantan pelaku teroris, publik akan menangkapnya dengan penilaian berbeda, oleh karena kalau saya boleh berpendapat secara pribadi, Ali Imron ini layak untuk mendapatkan Grasi agar dia bisa lebih efektif lagi membantu program deradikalisasi," jelasnya.
Sementara itu, Ali Imron yang juga hadir sebagai pembicara mengaku tindakan yang dilakukannya adalah salah serta mengajak kelompok radikal untuk kembali ke jalan yang benar.
"Saya mengajak semua kawan-kawan yang masih radikalis, atau yang setengah radikalis dan menganggap Pancasila adalah thogut, mari kita kembali ke jalan yang benar. Tindakan kita salah. Jihad yang diserukan Islam itu kita pahami secara salah, hanya sebatas isi kepala kita yang kecil ini," terangnya.
Ali juga membantah adanya paksaan dan tekanan dari pihak tertentu sehingga ia mau mengakui kesalahannya dan bertobat.
''Tak ada tekanan buat saya, ini saya nyatakan sesungguhnya, tindakan saya dan kawan-kawan teroris itu ngawur. Islam tidak mengajarkan apa yang kami tebarkan dan kerjakan,'' tegasnya.
Diketahui, Majelis Hakim PN Denpasar memvonis Ali Imron alias Alik dengan hukuman penjara seumur hidup pada 18 September 2003 atas keterlibatannya pada kasus Bom Bali 2002. Hukuman ini lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 20 tahun penjara.
Majelis hakim yang diketuai Mulyani menilai adik Amrozi itu terbukti secara sah terlibat terorisme. Ali Imron terhindar dari hukuman mati karena menyesal dan bersedia bekerja sama dengan polisi. Bom Bali terjadi pada 12 Oktober 2002 di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) Jalan Legian, Kuta, Bali, menewaskan 202 korban jiwa dan melukai 209 lainnya.
(prf/ega)