Menko Polhukam Mahfud Md mengungkapkan, menurut penghitungan terakhir, piutang terkait bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang akan ditagih sebesar Rp 110.454.809.645.467 atau Rp 110,45 triliun. Uang tersebut akan ditagihkan kepada 48 bank yang menerima kucuran dana segar BLBI.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud usai menggelar rapat terkait penagihan utang BLBI dengan para menteri hingga Kapolri. Mahfud mengatakan Sjamsul Nursalim menjadi salah satu obligor yang akan ditagih.
"Pada bulan Desember tahun 1998. Pemerintah membuat kucuran dana untuk 48 obligor. Jadi pada waktu itu. Kan ada yang sudah ditagih, ada yang sudah lunas. Nanti kita beri tahu ke masyarakat. Apakah itu masuk BDNI? Sjamsul Nursalim itu utangnya 2 macam. Satu, Bank Dewa Ruci, kemudian ada BDNI. Nah itu akan ditagih," kata Mahfud dalam jumpa pers virtual, Kamis (15/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menjelaskan para obligor tersebut sebelumnya sudah memberikan berbagai jenis jaminan utang kepada pemerintah. Seperti aset properti, uang, saham, hingga nostro atau rekening valuta asing.
Namun, dalam perjalanannya, banyak jaminan utang yang kemudian bermasalah. Dia mengungkapkan setidaknya ada 12 masalah yang ditemukan.
"Problemnya ada 12. Menyerahkan daftar barang tapi belum menandatangani secara resmi. Hanya menyerahkan ini barang saya satu-satunya. Nggak pernah menyerahkan secara ini dialihkan ke negara. Ada yang menyerahkan barang, ternyata barang itu digugat pihak ketiga terhadap orang yang menyerahkan itu. Sehingga jaminannya nggak bisa dipakai lagi. Kalau nggak ya jadi pidana, nipu," papar Mahfud.
Karena itu, kata Mahfud, nantinya ada 6 bentuk tagihan yang akan ditagih kepada para obligor BLBI. Mulai dari kredit, properti, hingga nostro.
"Satu, bentuknya kredit itu Rp 101 triliun. Dua, bentuknya properti Rp 8 koma sekian triliun. Lalu ada yang bentuknya nostro, itu bank asing. Kayak rekening uang asing. Nah itu kan bergerak terus jadi itungannya berubah-ubah. Ada yang berbentuk saham. Jadi ada 6 kategori," ungkap dia.
Mahfud mengungkapkan berbagai strategi juga telah disiapkan untuk menagih aset-aset para obligor. Misalnya kerja sama dengan Interpol terkait aset di luar negeri.
"Ada aset yang sudah berpindah ke luar negeri. Apa yang dilakukan pemerintah? Ya kita antar negara bisa pakai," kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan alasan mengapa pemerintah baru melakukan penagihan. Simak di halaman berikutnya.
Duduk Perkara Kasus BLBI
Mahfud juga menjelaskan perihal duduk perkara hingga kasus ini dinyatakan sebagai perkara perdata. Kasus ini bermula dari kucuran dana BLBI kepada 48 bank yang mengalami masalah likuiditas tahun 1998 lalu.
Ternyata, dalam perjalanannya, ada dugaan korupsi dari penggunaan dana BLBI itu. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,7 triliun.
Singkat cerita kasus ini pun diseret ke pengadilan korupsi. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung pun divonis 15 tahun penjara di tingkat banding.
"Lalu ada dugaan 'o ini ada korupsinya', terutama dalam penerbitan SKL Sjamsul Nursalim. Saya duga waktu itu Syafruddin Tumanggung itu diadukan ke pengadilan pidana. Semula dihukum, sampai 2 tingkat pengadilan ini korupsi. Pengadilan pertama 13 tahun penjara dengan denda Rp 700 juta. Kemudian di tingkat banding ditingkatkan malah, di putusan pengadilan ditingkatkan dari 13 tahun menjadi 15 tahun, dendanya menjadi Rp 1 miliar. Karena ada putusan itu maka Sjamsul Nursalim pun dan istri Itjih Nursalim dijadikan tersangka karena satu paket. Tapi ketika ini sudah tersangka dipanggil nggak dateng," tutur Mahfud.
Namun, ternyata, di tingkat kasasi, Syafruddin Tumenggung dibebaskan. MA menyatakan kasus BLBI tersebut bukan tindak pidana, sehingga Syafruddin Tumenggung dibebaskan dari segala tuntutan.
KPK kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Namun, PK tersebut dinyatakan tidak dapat diterima karena dinilai tidak memenuhi syarat KUHAP dalam pengajuan PK. Karena itulah, KPK kemudian menerbitkan SP3 yang kemudian mendasari penagihan utang BLBI tersebut.
"Sehingga sekarang kenapa baru bertindak pemerintah? Jawabannya gampang, karena kami baru menjadi pemerintah. Ini kan sejak tahun 2004. Sudah berapa kali pemerintah. Kalau ditanya, Anda kok baru bertindak? Kan kami baru jadi menteri, baru ditindak. Lalu alasan yang kedua, karena dulu masih ada kasus pidana. Kalau bertindak ternyata ada pidananya kan salah. Sekarang sudah nggak ada kasus pidana yang menyangkut dengan pemerintah nggak ada sekarang," papar dia.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan bukan berarti kasus ini ke depannya tidak bisa diseret ke ranah pidana. Menurutnya, bila nantinya ternyata ada dugaan tindak pidana terkait jaminan utang yang diserahkan oleh para obligor, maka hal itu bisa dipidanakan.
"Nah meskipun begitu, sesudah kami rapat tadi, bukan tidak mungkin nanti akan ada pidana kalau ditemukan. Tetapi bukan karena SKL. Pidananya apa? Misalnya memberi jaminan tanahnya, ternyata yang dijaminkan ke negara ternyata milik orang lain, memberi surat pernyataan ternyata palsu dan sebagainya, dan sebagainya. Bahkan ada dari sekian banyak jaminan itu ada yang kemudian menjadi perkara di pengadilan terkait miliknya orang lain digugat oleh pihak ketiga, ternyata pihak ketiga itu menang. Padahal yang menjaminkan ke negara ini tidak mengubah jaminannya. Jadi kalau ada pidananya, justru akan ketemu dari sini nanti," tutur Mahfud.
"Nanti kalau dari sekian obligor dan debitur melakukan tindak pidana dalam hal ini ya kita seret lagi ke pengadilan. Maka tadi ada Kapolri, ada Jamdatun. Kejagung juga menjadi bagian dari ini," imbuh dia.