Merohaniakan Peradaban

Kolom Hikmah

Merohaniakan Peradaban

M. Kholid Syeirazi - detikNews
Rabu, 14 Apr 2021 15:01 WIB
M. Kholid Syeirazi, Sekjen PP ISNU
M. Kholid Syeirazi, Sekjen PP ISNU (Foto: Dokumen pribadi)
Jakarta -

Manusia terbentuk dari unsur jasmani dan rohani. Roh manusia mendahului jasadnya. Ketika masih berujud roh, Allah mengikat kesaksian anak cucu Adam dan berkata: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' 'Benar, kami bersaksi Engkau Tuhan kami' (Al-A'râf/7: 172). Fitrah manusia, sebagai makhluk rohani, adalah Muslim, mengesakan Allah dan berserah diri kepada-Nya. Ketika roh berkumpul dengan jasad, manusia senantiasa dalam tegangan dua gravitasi: jasmani dan rohani.

Aspek jasmani adalah kebutuhan untuk bertahan hidup. Manusia perlu makan dan berkembang biak. Mereka butuh hidup enak. Mereka membangun infrastruktur dan merancang teknologi untuk melayani kebutuhan jasmani. Ideologi alokasi dan distribusi dicanangkan. Sebagian meyakini efisiensi pasar. Ini disebut dengan kapitalisme.

Sebagian meyakini efektivitas negara. Ini disebut dengan sosialisme. Manusia berlomba-lomba, dengan berbagai cara, mengejar target-target pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, dan kemampuan militer. Aspek rohani, dalam peradaban yang memuja materi, dikomodifikasi mengikuti selera pasar. Agama bukan kompas spiritual yang memimpin materialisme, tetapi mengekor kepadanya. Kebangkitan agama ditandai oleh label-label syar'i dalam industri keuangan, busana, makanan, dan debat receh tentang purifikasi. Agama tinggal kulitnya. Isinya terbenam dalam peradaban jasmani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebangkitan agama, dalam rona peradaban jasmani, tidak berarti kebangkitan spiritualisme. Simbol agama dikerek dalam leksikon ekonomi dan politik, tetapi isinya tidak jauh dari akumulasi laba. Agama jadi simbol dalam kemasan. Isinya kalkulus laba-rugi.
Kulit dan Isi.

Islam bukan agama dengan doktrin yang memunggungi kebutuhan jasmani dan duniawi. Doa sapu jagat, yang diajarkan Alqur'an (QS. Al-Baqarah/2: 201), bahkan menyandingkan orientasi kebaikan dunia dan akhirat. Tentu saja, menurut Alqur'an (QS. Al-Dhuhâ/93: 4), akhirat tetap lebih baik ketimbang dunia. Ini paralel dengan keutamaan isi dibanding bungkus. Bungkus bisa dinamai apa saja, yang penting isinya. Jika harus memilih, kita lebih memilih minyak samin cap babi daripada minyak babi cap unta.

ADVERTISEMENT

Kebangkitan Islam, yang diusung oleh gerakan pemurnian, memunculkan isu revivalisme Islam dalam politik. Mereka meyakini keniscayaan formalisasi Islam. Sayangnya, negeri-negeri muslim, dengan indikator kebajikan umum, tertinggal jauh dibanding negara-negara non-Muslim. Dengan menggunakan 113 indeks kebajikan umum, Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari (2018), menunjukkan tidak ada negara-negara Muslim atau yang secara formal menegaskan diri sebagai negara Islam yang menempati pertingkat 30 besar. Top 10 negara-negara dengan pembangunan paling Islami justru diraih oleh negeri-negeri non-Muslim seperti Irlandia, Denmark, Luxemburg, Swedia, UK, New Zealand, Singapore, Finlandia, Norwegia, dan Belgia. Peringkat tertinggi 'negara Islam' yang paling Islami hanya Malaysia, ranking ke-33. Arab Saudi menempati peringkat ke-91. Turki menempati ranking ke-71. Indonesia, negeri populasi Muslim terbesar, berada di urutan ke-104.

Maraknya religiusitas tidak simultan dengan kenaikan indeks kebajikan umum. Alih-alih demikian, gairah kembali kepada agama justru menciptakan siklus phobia seiring dengan naiknya pamor puritanisme yang menyerukan pemurnian agama dan politik. Islam, dalam situasi seperti ini, menjadi tersangka akibat ulah umat Islam. Ada benarnya sinyalemen mantan Grand Syeikh Al-Azhar, Muhammad Abduh: "Di negara-negara Barat, saya melihat Islam tetapi tidak menemukan orang Islam. Di negara-negara Timur, saya melihat orang Islam tetapi tidak menemukan Islam."

Merohanikan Peradaban

Banyak yang bilang, akar dari krisis peradaban modern adalah pemujaan terhadap materialisme. Kapitalisme yang berjaya terus mengalami siklus krisis yang berulang dalam sejarah. Krisis itu akibat tirani pasar yang menghalalkan kerakusan tanpa batas. Sumber daya alam dikeruk. Hutan-hutan dibabat. Eksploitasi hidrokarbon menghasilkan pemanasan global. Negara-negara adidaya berlomba-lomba mempersenjatai diri untuk mengamankan kepentingannya. Dunia siap adu otot untuk memperebutkan sumber daya alam yang langka.

Di tengah pemujaan terhadap materialisme, Ramadan datang dengan semangat rohani. Secara rutin dia datang, setahun sekali, untuk menyeimbangkan kembali komposisi. Menurut Al-Ghazali, manusia terbentuk dari empat komposisi. Keseimbangannya akan menentukan nasib manusia dan peradabannya. Empat komposisi itu adalah potensi kebinatangan (quwwah bahîmiyyah), potensi kebuasan (quwwah sabu'iyyah), potensi setan (quwwah syaithâniyyah), dan potensi ketuhanan (quwwah rabbâniyyah).

Potensi pertama mewakili unsur kebinatangan manusia yang menuntut pelampiasan kepuasan lahir, kenikmatan sensual dan seksual. Ia mencakup berbagai syahwat dan keinginan: makan yang enak, baju yang indah, rumah yang mewah, dan kebutuhan seksual. Potensi kedua mewakili unsur agresif manusia seumpama binatang buas. Ia menjelma dalam ghadzab: kecenderungan destruktif untuk mencelakai orang lain, senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. Potensi ketiga adalah kecenderungan untuk menjustifikasi pelampiasan nafsu dengan bisikan-bisikan jahat yang mengingkari kejahatan sebagai kejahatan dan membangun dalih untuk membenarkannya.

Potensi keempat adalah partikel Tuhan di dalam diri manusia sebagai rem untuk mengekang laju quwwah syaithâniyyah dan quwwah rabbaniyyah. Jika quwwah syaithâniyyah menang, manusia akan menjelma menjadi binatang berujud manusia. Wujudnya adalah peradaban yang dikuasai syahwat dan gadzab: rakus, hedonis, agresif, dan korup. Jika quwwah rabbaniyah menang, sisi kebinatangan manusia akan terpimpin di jalan yang benar. Nafsu dibimbing dan dikelola, sebab-tanpa nafsu-manusia kehilangan elan vitalnya. Sisi sabu'iyyah disalurkan ke arah yang konstruktif. Marah dipimpin untuk membela jiwa, kehormatan diri, agama, dan negara. Tanpa gadhab, manusia jadi pengecut. Dikuasai gadhab, manusia jadi predator, agresif, destruktif.

Puasa adalah madrasah spiritual untuk merohaniakan kembali manusia dan peradabannya. Fitrah manusia adalah tegangan di antara makhluk jasmani dan rohani. Ramadan mendidik umat Islam untuk menjinakkan potensi kebinatangan, kebuasaan, dan kesetanan dengan mengasah dimensi ketuhanan dalam diri manusia. Dengan puasa, manusia 'menjenguk' akhlak Allah yang tidak makan, tidak minum, tidak beristeri. Sepanjang siang, manusia berjarak dari simbol-simbol utama kesenangan ini. Allah tidak tidur. Umat Islam, di bulan puasa, dianjurkan mengurangi tidur malam dan memperbanyak munajat kepada Allah dengan qiyâmul lail. Ramadan adalah jangkar untuk mengembangkan kembali fitrah manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.


M. Kholid Syeirazi

Penulis adalah Sekretaris Umum PP ISNU.

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. --Terimakasih (Redaksi)-

(erd/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads