Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti penyusunan Rancangan Perpres tentang penyelesaian HAM masa lalu. KontraS menyinggung janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal penyelasaian kasus HAM berat masa lalu.
Mulanya, KontraS mengungkit soal janji Jokowi soal penyelesaian kasus HAM pada hari HAM Internasional tahun lalu. Pemerintah juga berencana membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran.
"Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional tahun lalu menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan diakui oleh komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD, juga berencana akan membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme-mekanisme lainnya, baik yudisial maupun non-yudisial," kata KontraS dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (RPerpres UKP-PPHB) 2021.
"Namun demikian, hingga hari ini belum ada satu langkah yang diambil oleh Pemerintah yang sesuai dengan standar-standar universal yang diterima oleh komunitas HAM internasional. Kemudian pada 12 Maret 2021 lalu Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam rapatnya menyampaikan rencana untuk membahas kembali Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) serta Ranperpres UKP yang berfokus pada pemulihan korban pelanggaran HAM berat," tuturnya.
KontraS menjelaskan RUU KKR telah masuk ke dalam prolegnas 2020 melalui jalur kumulatif dan telah diadakan sejumlah pembahasan terkait naskah akademik maupun draftnya yang cenderung dikesampingkan. Dalam hal ini Dirjen HAM dalam rapatnya melakukan koordinasi dengan Wamenkumham dan Kemenkopolhukam menyimpulkan bahwa Ranperpres UKP-PPHB perlu diprioritaskan dan diakselerasi pembahasannya, agar presiden segera menandatanganinya.
Simak juga 'Buka Pos Aduan Bansos, KontraS Ajak Masyarakat Rebut Kembali Haknya':
"Dengan kata lain, pembahasan Ranperpres UKP-PPHB ini akan mengenyampingkan RUU KKR yang seharusnya lebih diprioritaskan karena masuk ke dalam prolegnas. Sayangnya, proses yang sedang berlangsung di Kemenkumham tersebut juga sulit diakses masyarakat, terutama korban," ungkapnya.
KontraS juga menilai wacana rekonsiliasi hanya dimaknai sebagai bentuk cuci tangan. Wacana ini dinilai berpotensi melanggengkan praktik impunitas.
"Wacana rekonsiliasi tak lain tak bukan hanya dimaknai sebagai bentuk lain "cuci tangan" yang dilakukan oleh beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini masih menduduki jabatan publik yang strategis. Selain itu, wacana rekonsiliasi versi pemerintah juga berpotensi melanggengkan praktik impunitas karena tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan juga partisipasi keluarga korban," ungkap KontraS.
Dalam catatan KontraS semenjak tahun 2015, melalui beberapa kali pernyataan Jaksa Agung, HM Prasetyo, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan dengan jalan pembentukan komite rekonsiliasi yang terdiri dari unsur Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI dan Kemenkumham.
KontraS menilai pemerintah bisa menjadikan Ranperpres UKP-PPHB sebagai bentuk legitimasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu.
"Melalui Ranperpres UKP-PPHB, Pemerintah berpotensi menjadikan aturan ini sebagai bentuk legitimasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu. Pemerintah akan mengatakan pada publik bahwa kasus pelanggaran ham berat masa lalu telah diselesaikan karena korban telah mendapat bantuan material," ujarnya.