Pemerintah telah memutuskan melanjutkan dana otonomi khusus (otsus) Papua. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan dana otsus perlu ditambah menjadi 2,25 persen.
"Besaran dana otsus kami pandang perlu ditambah dari 2% menjadi 2,25% guna mempercepat pembangunan dan kesejahteraan di Papua," kata Tito dalam rapat Pansus Otsus Papua di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/4/2021).
Kendati demikian, Tito mengatakan skemanya perlu diatur. Menurutnya, block grant nantinya tak perlu diberikan begitu saja.
"Namun demikian, untuk kepentingan efektivitas dan efisiensi dan manfaat, skemanya perlu diatur. Kalau tadi semuanya block grant diberikan semua begitu saja, mungkin 1% block grant sebagai arah kebijakan untuk menghargai kekhususan, ini dapat ditentukan oleh daerah," ujarnya.
"Tapi 1,25% menggunakan skema yang berbasis kinerja, supaya itu betul-betul tepat pada sasarannya guna memicu tumbuhnya kemandirian daerah dan perencanaan program yang betul transparan dan bermanfaat dapat dirasakan oleh rakyat. Ini mencegah terjadinya kebocoran juga," lanjut Tito.
Lebih lanjut terkait pemekaran wilayah Papua, Mendagri Tito menyampaikan ada 4 skenario yang disusun. Namun, pemekaran ini masih dalam pembahasan.
"Ada skenario untuk adanya pemekaran yang meliputi empat wilayah adat Papua. Selatan itu adalah di Merauke, Asmat, Mati, Boven Digoel, dan Pegunungan Bintang. Kemudian yang di utara itu Sarere dan Mambramotabi," ucap Tito.
"Kemudian juga tadinya skenario untuk Papua Tengah menjadi satu di pegunungan tapi tokoh-tokoh masyarakat, birokrat dan yang lain menginginkan provinsi yang berbeda antara wilayah adat lapago yang berpusat di Wamena dengan Mepago. Ada juga aspirasi yang lain dari Papua Barat tapi belum begitu bulat kami lihat, yaitu adanya keinginan adanya Papua Barat Daya," lanjut Tito.
Tito menegaskan pemekaran itu tergantung kemampuan keuangan dan hasil revisi. Dia berharap pemekaran ini dipegang oleh pemerintah pusat.
"Usulan pemerintah, kita mengharapkan selain cara pemekaran melalui mekanisme MRP-DPRP, yang kedua adalah pemekaran dapat dilakukan oleh pemerintah, maksudnya pemerintah pusat dalam rangka untuk percepatan pembangunan dan meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat namun memperhatikan kesatuan sosial budaya, adat maksudnya, kesiapan SDM, kemampuan ekonomi, perkembangan di masa mendatang, serta aspirasi masyarakat Lapua melalui MRP-DPRP dan pihak-pihak lain yang terkait," ujarnya.
Tito mengatakan, jika atas persetujuan MRP-DPRP, khawatir pengambilan keputusan aman deadlock. Sebab, sistem koordinasi di sana yang sulit.
"Kenapa opsi ini disampaikan, karena opsi di MRP dan DPRP persetujuan, kalau terkunci di sana, kalau deadlock di situ, sedangkan aspirasi pemekaran itu cukup tinggi kita rasakan. Kita tahu bahwa bagaimana pengalaman papua barat juga dulu kesulitan dari Fakfak, Kaimana, Sorong, harus koordinasi ke Jayapura, itu hitungannya hari, sulit sekali untuk hanya bertemu atau izin, itu pun kalau ketemu pejabatnya yang ada di Jayapura," tuturnya.
(eva/gbr)