Pemerintah mewacanakan membuka impor beras sekitar 1 juta ton. DPP GMNI kepemimpinan Arjuna Putra Aldiano, menolak wacana tersebut.
Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldiano menuturkan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 54,65 juta ton atau setara dengan 31,33 juta ton beras. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 54,6 juta ton GKG yang setara dengan 31,31 juta ton beras.
Kemudian, menurut Arjuna, ada potensi produksi periode Januari-April 2021 diprediksi bisa mencapai 14,54 juta ton, naik 26,84% dibandingkan periode yang sama 2020 sebesar 11,46 juta ton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami kira impor beras belum diperlukan. Mengingat angka produksi beras tahun lalu masih cukup memenuhi stok, ditambah potensi produksi awal tahun ini yang mau memasuki panen raya, bakal surplus. Jadi tidak ada urgensi untuk impor beras," kata Arjuna dalam keteranganya, Jumat (19/3/2021).
Arjuna menyoroti alasan Menteri Perdagangan yang menyebut impor beras untuk menjaga iron stock yang diperlukan untuk kebutuhan mendesak, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos) atau operasi pasar untuk stabilisasi harga.
"Ini alasan yang dibuat-buat. Pasalnya, pemerintah telah menggantikan program Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Artinya, program social safety nets sudah tidak lagi menggunakan beras, tapi sudah non-tunai. Jadi tidak ada peningkatan kebutuhan dan problem stok yang sehoror dibayangkan pak Menteri," ucap Arjuna.
GMNI meminta agar pemerintah membatalkan wacana impor beras tersebut. Menurutnya, impor beras membuka praktek perburuan rente yang hanya ambil keuntungan.
"Impor komoditas pangan rawan praktik perburuan rente, yang mengambil untung dari margin harga di negara pemasok dengan harga pangan nasional. Ini benar-benar tidak memikirkan nasib petani kita. Impor boleh-boleh saja, apabila memang benar-benar paceklik kondisinya. Menjelang panen raya malah impor, sangat tidak Pancasilais," kata Arjuna.
(aik/dnu)