Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyoroti program rekrutmen 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahun 2021 dari Kementerian PAN-RB. Program tersebut hanya ditujukan untuk guru di bawah Kemendikbud, dan tidak atau belum mengalokasikan untuk guru agama Islam/non-Islam yang bernaung di bawah Kemenag.
Oleh karena itu, Hidayat meminta agar pemerintah, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk mempertemukan KemenPAN-RB, Kemenag serta Kemendikbud. Adapun hal ini dimaksudkan dalam rangka menetapkan alokasi rekrutmen PPPK untuk guru-guru agama honorer.
Menurut Hidayat, guru agama punya peran penting dalam mengimplementasikan UUD 1945, utamanya pasal 31 ayat (3 dan 5), yakni penyelenggaraan pendidikan yang meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia bangsa secara berkualitas. Namun, peran penting tersebut sering kali tidak mendapatkan apresiasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal, kami di Komisi VIII DPR-RI dan Asosiasi Guru PAII sejak awal telah mengingatkan agar guru agama diikutsertakan dalam rekrutmen tersebut, dan KemenPAN-RB pun menyatakan bahwa Kemendikbud hanya memasukkan sekitar 568 ribu dari formasi 1 juta guru PPPK. Jadi masih tersedia 432 ribu formasi guru PPPK yang mungkin diangkat dari kalangan guru agama," ujar Hidayat dalam keterangannya, Senin (8/3/2021).
Lebih jauh, anggota DPR-RI Komisi VIII sebagai mitra Kementerian Agama ini mengungkapkan pada rapat terakhir Komisi VIII dengan Kemenag tanggal 18 Januari 2021, aspirasi untuk mendukung pemenuhan kebutuhan guru dan dosen di bawah lingkungan Kemenag melalui rekrutmen PPPK telah disampaikan dan masuk dalam keputusan rapat.
Kementerian Agama kemudian berkirim surat kepada Kemenko PMK dan Kementerian PAN-RB guna menyampaikan usulan tersebut. Namun, sampai awal Maret 2021 belum ada political will dari pemerintah untuk melaksanakan hal tersebut, sehingga menimbulkan kekecewaan dari Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam se-Indonesia.
Pimpinan MPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mendesak pemerintah agar merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena tidak menghadirkan keadilan untuk guru agama, terutama di Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan pendidik pada pendidikan agama swasta disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Menurutnya, ketentuan tersebut secara gamblang mengisolasi peran pendidik agama, sehingga implikasinya adalah guru agama cenderung akan terus menjadi honorer. Padahal, guru agama secara nyata membantu negara menjalankan UUD 1945 Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dalam hal pendidikan agama, ia menilai lembaga pendidikan swasta merupakan pilar utama, mengingat perannya yang mencapai lebih dari 80 persen. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mendukung dan menunjukkan keberpihakan.
Hidayat meminta agar revisi PP 55/2007 segera dilakukan dengan memasukkan ketentuan kewajiban pemerintah merekrut pendidik keagamaan swasta dengan kriteria tertentu, mempertimbangkan kualitas maupun jangka waktu pengabdian.
"Jangan sampai guru agama yang berkualitas atau telah puluhan tahun mengabdi demi membangun moral/akhlak bangsa, tidak juga mendapat apresiasi Negara sehingga hidupnya kesulitan hingga masa tuanya. Pemerintah harus alokasikan rekrutmen PPPK/CPNS untuk mereka sebagaimana guru lainnya. Dan Kementerian Agama juga harus serius memperjuangkan keadilan dan hak-hak guru agama honorer, agar keadilan sosial benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan bangsa ini ke depan tidak kehilangan guru agama. Dan agar guru agama makin termotivasi untuk tingkatkan kualitas dan hasil pendidikan agama untuk keunggulan dan kemajuan bangsa dan negara," pungkasnya.
Tonton Video: Dear Guru Honorer, Nadiem Tak Batasi Usia Ikut Seleksi PPPK