Sya'bi meriwayatkan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagaig Khalifah pernah kehilangan baju besinya. Ternyata baju tersebut berada di tangan seseorang beragama Nasrani. Ali melaporkan pada hakim yang bernama Syuraih, menuntut agar baju tersebut dikembalikan padanya.
Dalam sidang pengadilan Ali berkata," Baju besi ini kepunyaanku, tidak kujual dan tidak kuberikan kepada siapapun." Hakim berkata, " Apa jawabanmu terhadap tuduhan Amirul Mukminin ini ?" Jawab Nasrani," Baju besi ini kepunyaanku. Namun demikian bukan berarti aku menuduh Amirul Mukminin berdusta." Maka hakim bertanya pada Ali," Ya Amirul Mukminin, adakah engkau nempunyai bukti?" Ali tersenyum dan menyatakan tepat apa yang dilakukan Hakim Syuraih. Ali mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai kepemilikan baju besi tersebut.
Lalu Hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut milik Nasrani. Lalu diambilnya baju tersebut sambil melangkah berucap, " Aku mengakui bahwa ini adalah putusan para Nabi. Amirul Mukminin mengadukanku pada Hakim, lalu dipertimbangkan dan memenangkanku. Sekarang aku bersaksi," Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, baju besi ini benar kepunyaanmu, wahai Amirul Mukminin. Baju itu terjatuh ketika engkau dalam perjalanan menuju Shifin." Ali berkata, "Karena engkau telah memeluk Islam, maka baju besi ini kuberikan kepadamu!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari riwayat tersebut dapat dicatat bahwa, bimbingan iman itulah yang menuntun Ali ( seorang Kepala Negara ) dan Syuraih ( seorang Hakim ) kepada keadilan. Amirul Mukminin yang beriman tidak mau dengan menggunakan kekuasaannya untuk menpengaruhi Hakim dalam memutuskan perkaranya. Di sini jelas bahwa hukum berdiri di atas semuanya, tidak istimewa bagi seorang Amirul Mukminin. Bagi Muslim dan Nasrani mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum negara. Dengan keteladanan iman seorang Amirul Mukminin bisa mendatangkan hidayah untuk seorang Nasrani yg dituntutnya, dan akhirnya bersaksi untuk memeluk Islam.
Betapa indahnya jika seorang Pemimpin bisa meneladani sebagian dari sifat-sifat Rasulullah seperti : 1. Tidak mencela dan menghina orang lain. Ini menjadikan landasan hubungan kerelasian sangat baik. 2. Tidak mencari-mencari kesalahan. Menetapkan bahwa kebaikan adalah kebaikan dan kebatilan tetap batil bukan dibalik. Sifat ini akan meneguhkan keadilan bagi semuanya, sehingga hukum tetap tajam bagi yang melanggar peraturan. Hukum akan tegak, bukan menjadi alat. 3. Tidak bicara kecuali tentang hal yang diharapkan bisa mendatangkan pahala. Point ini menjadi sangat penting karena semua yang dibicarakan dengan berharap pahala, tentu sesuatu yang dibicarakan hal-hal yang bersifat positif dan produktif.
Peraturan dibuat dan hukum diberlakukan adalah semata untuk tatakehidupan yang tertib dan harmonis, meskipun demikian masih ada beberapa kalangan yang merasa diberlakukan tidak adil seperti banyak kasus sengketa tanah masyarakat. Keadilan seakan menjadi mahal bagi masyarakat luas dan menjadi mudah bagi kalangan tertentu. Ungkapan ini tidak berlaku jika para penegak hukum memegang teguh keimanan serta menerapkan prinsip yang batil tetap batil dan yang hak akan telindungi. Kekuasaan hanya bersifat fana, karena pada saatnya akan berganti. Maka ingatlah bahwa Yang Kuasa bukan pada makhluk, namun hanya pada Sang Pencipta. Semoga para penegak hukum negeri ini bukan merasa segalanya, sehingga bisa memutuskan karena kuasanya namun memutuskan karena kebenarannya.
Aunur Rofiq
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia )
Sekjen DPP PPP 2014-2016
*Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. --Terimakasih (Redaksi)--
(erd/erd)