MK Sayangkan Cara Penyelesaian Konflik MA dengan KY
Kamis, 16 Feb 2006 18:12 WIB
Jakarta - Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Prof Dr Jimmly Asshiddiqie SH menyayangkan penyelesaian konflik antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY) yang diselesaikan secara pribadi atau bersifat nonformal. Cara penyelesaian seperti adalah tidak sehat dan seharusnya diselesaian secara formal karena menyangkut antarlembaga."Ini tidak sehat. Mestinya ada mekanisme penyelesaian informal dan bilateral antar mereka sendiri. Dan bilamana tidak ada penyelesaian mestinya penyelesaiannya seperti yang harapkan UUD, ada mekanisme penyelesaian formal atau resmi. Dan itu berarti perkara konstitusi," kata Jimly seusai Seminar Nasional di gedung MM-UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Kamis (16/2/2006).Menurut dia, penyelesaian seperti itu bersifat nonformal serta tidak mengikat kedua belah pihak yang menyangkut lembaga hukum resmi. Cara penyelesaian seperti itu hanya bisa reda sementara waktu. Namun suatu ketika pasti akan kembali meledak. Mestinya diselesaikan lewat jalur formal. ebab ini menyangkut lembaga hukum resmi. "Masak diselesaikan antarpribadi, misalnya antara Artidjo Alkostar dan Busyro Muqoddas. Masak gara-gara keduanya sama-sama dosen di UII lalu persoalan selesai. Ini kan persoalan bangsa dan urusan negara," tegas dia.Jimly mengatakan, penyelesaian konflik KY dan MA memang bisa dilakukan lewat mekanisme informal dan bilateral antara kedua lembaga. Namun cara penyelesaian itu tidak akan permanen karena tidak ada hal yang bisa mengikat keduanya. "Suatu waktu bila terjadi konflik bisa meledak kembali," katanya.Menurut dia, konflik antarlembaga negara bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesuai yang diamanatkan UUD 45. Hanya saja, dalam kasus konflik KY dan MA terlibat banyak persoalan psikologis dan hukum. Baik MA dan MK, di satu sisi merupakan objek pengawasan KY. Sementara di sisi lain, ada Undang-undang yang menentukan bahwa MA tidak bisa menjadi pihak yang berperkara di MK."Adanya pasal undang-undang yang menyatakan MA tidak bisa sebagai pihak berperkara di MK, ini yang menghambat. Ini juga kekeliruan dalam membuat aturan, jadinya repot," ujar Jimly.Di mata KY katanya, MK juga termasuk objek yang diawasi. Dalam kasus konflik itu, baik MA maupun KY denggan mengajukan masalah ini ke MK. Padahal, satu-satunya mekanisme yang rasional dalam menyelesaikan masalah ini adalah lewat jalur konstitusi. "Hanya karena ada persoalan psikologis dan aturan tadi, mekanisme penyelesaian rasional ini tidak bisa diselenggarakan," katanya.Menurut pakar hukum tata negara itu, ada alternatif lain menyelesaikan konflik MA dan KY yaitu lewat presiden dan jalur politik. Namun jika diselesaikan oleh presiden atau eksekutif, akan jadi preseden buruk di masa depan. "Tidak pernah ada di dunia ini dengan penyelesaian seperti itu. Tidak pernah seorang presiden turun tangan menyelesaikan masalah seperti ini karena akan memberi kesan tidak baik," demikian Jimly.
(nrl/)