Jakarta - Sang begawan ilmu sejarah Prof Dr Sartono Kartodirdjo berulang tahun ke-85. Ulang tahun Sartono dirayakan oleh kolega dan murid-muridnya dengan meluncurkan sebuah buku berjudul
Sejak Indische Sampai Indonesia.Sosok Sartono Kartodirdjo yang dikenal oleh kalangan sejarawan Indonesia sebagai seorang sejarawan Ratu Adil dan guru dari sekitar tujuh generasi sejarawan Indonesia. Bahkan beberapa murid yang saat ini juga menyandang gelar guru besar itu menyebut Sartono sebagai seorang begawan ilmu sejarah yang meletakkan dasar-dasar penulisan sejarah multidisipliner."Pak Sartono bukan hanya guru kami, tapi juga yang membawa pembaruan dalam penulisan sejarah Indonesia. Dia juga yang membangun Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)," kata salah satu murid, Prof Dr Djoko Suryo, saat diskusi di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (15/2/2006).Tidak hanya membangun penulisan sejarah dalam berbagai kajian saja, kata Djoko, guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu juga yang merintis studi pedesaan di UGM pada tahun 1980-an hingga menjadi Pusat Studi Pedesaan yang karya-karyanya banyak berperanan penting waktu itu.Dari sang guru, telah muncul nama-nama besar seperti Kuntowijoyo, Taufik Abdullah, Ibrahim Alfian, Djoko Suryo dan lain-lain. Boleh dikatakan, Profesor Sartono adalah guru dari tujuh generasi sejarawan di Indonesia. Dalam acara itu, tak ada pesta atau kado istimewa untuk Sartono, kecuali peluncuran buku berjudul
Sejak Indische Sampai Indonesia yang merupakan kumpulan tulisan beberapa tahun lalu. Di usia ke-85 itu meski sudah harus dibantu dengan kursi roda, Sartono masih mampu menunjukkan semangat yang luar biasa. Meski dengan sedikit terbata-bata dan beberapa kali berhenti, namun sejarawan kelahiran Wonogiri 15 Februari 1921 masih mampu berbicara sekitar 60 menit. Dalam kesempatan itu Sartono banyak bercerita tentang pengalaman menulis sejarah, tentang buku yang diluncurkan dan pesan-pesan bagi generasi muda, khususnya para sejarawan baik yang masih studi S-1, S-2 dan S-3."Saya selalu ingat dulu ada kritikan dari orang muda UGM yang mengatakan bahwa kalaupun ada karya manula biasanya hanya berupa kumpulan karangan. Dan ternyata itu terjadi pada saya," kata Sartono dalam sambutannya.Karena ada kritikan itu, ketika Penerbit Kompas menawarkan agar kumpulan tulisan dijadikan buku, dia sempat menolak dan tidak setuju. Namun akhirnya setuju ketika istri, anak-anak dan cucunya terus mendesaknya. "Saya pun akhirnya menerima setelah buku itu selesai dan diberikan 10 eksemplar sebagai contoh," kata Sartono.Satu pesan yang begitu mendalam, Sartono berharap generasi muda, khususnya para sejarawan untuk tetap berpegang pada etos yang dia sebut
mesu budi. Istilah itu dia dapatkan dari Serat Wedhatama karangan Mangkunegara yang berpesan agar selalu mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia.Menurut dia sebagai seorang intelektual diharapkan menjadi kelompok yang dapat memperbarui masyarakat yang telah bobrok ini. Selain itu, nilai seseorang tidak pernah dinilai dari harta yang dia miliki, tetapi apa yang telah dia berhasil perbuat untuk orang lain."Di zaman yang semakin bobrok seperti sekarang ini, sejarawan dan generasi muda seharusnya jangan hanya mengejar dunia. Lihat saja semua tokoh-tokoh besar yang meninggal tidak terkenal karena kendaraan mewah yang dia miliki atau rumah loji yang dia punya. Namun karena karya yang telah dia buat selama hidupnya," kata suami Sri Kadarjati yang masih setia mendampingi Sartono kemanapun pergi ini.Perjalanan karir Sartono sendiri dimulai sebagai guru di Sekolah Schakel di Muntilan (1941), Setelah meraih gelar MA di Universitas Yale Amerika (1964) dan gelar Ph.D di Unverseiteit van Amsterdam Belanda (1966), Sartono dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM (1968).Puluhan judul buku yang telah dihasilkan Sartono. Namun yang sangat terkenal adalah buku berjudul
The Peasant Revolt of Banten in 1888. Buku ini diambil dari desertasinya di Amsterdam yang mengantarkannya meraih gelar Ph.D dengan prediket cum laude. Buku yang menceritakan tentang pemberontakan petani Banten tahun 1888 ini juga disebut-sebut sebagai rintisan penulisan sejarah baru, yakni tentang aktivitas orang-orang kecil. Sartono sendiri mengakui buku itu sebagai puncak karyanya. "Kalau pembuatan karya itu diibaratkan sebagai sebuah garis, maka penulisan buku itu sebagai garis paling besar yang ada dalam hidup saya," katanya.
Kritik Sejarah Nasional IndonesiaDalam kesempatan itu, Sartono juga sempat mengkritik penulisan Sejarah Nasional Indonesia. Menurutnya, buku yang ditulis dalam kurung waktu 5-6 tahun oleh orang-orang hebat dan memakan biaya banyak ternyata hasilnya tidak maksimal dan justru menuai banyak kritikan. Sartono mengakui dirinya sempat masuk tim penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang terdiri dari enam jilid. Tetapi tidak tahu kenapa, baru sampai pada jilid II, namanya sudah dicoret. "Tanpa alasan yang saya ketahui nama saya sudah tidak ada lagi," katanya.Namun keteguhan hati untuk menulis sejarah nasional Indonesia terus membara. Dan tahun 1987 dan 1990, Sartono menulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid I jaman kerajaan dan Jilid II tentang pergerakan sejarah nasional Indonesia. "Saya ingin menulis kembali buku yang ditulis oleh 30 orang yang hasilnya ternyata banyak menuai kritikan. Saya ingin menulis dengan cara yang sederhana, gaya yang biasa tetapi tetap ilmiah," ujarnya.
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini