Lembaga Sensor Film (LSF) menyampaikan, sepanjang 2020, mereka telah menyensor sebanyak 39.863 judul. Adapun yang disensor merupakan tayangan film hingga tayangan televisi seperti sinetron dan FTV.
"Pada tahun 2020, total jumlah materi yang disensor oleh Lembaga Sensor Film berjumlah 39.863 judul. Yang ini bisa dilihat klasifikasinya ada untuk layar lebar, TV, palwa atau penjualan penyewaan DVD, jaringan informatika, sarana promosi untuk festival, kalangan terbatas, event, dan peninjauan," kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, dalam konferensi pers yang digelar virtual, Kamis (11/2/2021).
Adapun rinciannya sebanyak 68 judul film nasional yang disensor sepanjang 2020. Sedangkan film impor yang disensor sebanyak 128 judul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini paling penting untuk bioskop karena sebagaimana kita ketahui bioskop sempat tutup 6 bulan dan ini mempengaruhi juga jumlah film yang disensor dan produksinya juga memang terkena pandemi," imbuhnya.
Kemudian LSF juga menyensor 37.954 judul tayangan televisi. Adapun tayangan televisi yang disensor cukup lengkap karena di TV terdapat sinetron, FTV, dan program.
"Karena di TV itu semua di sensor karena berdasarkan UU Penyiaran, semua yang tayang di TV kecuali news dan live itu harus di sensor oleh LSF. Nah, 37.954 judul," ujarnya.
Rommy menuturkan sepanjang tahun 2020, LSF juga menyensor tayangan di jaringan informatika sebanyak 599 judul. LSF juga menyensor untuk palwa atau penjualan dan penyewaan DVD sebanyak 328 judul, sedangkan untuk festival sebanyak 150 judul dan untuk kalangan terbatas ada 9 judul.
"Untuk jaringan informatika ada Disney, Maxstream, Netflix, meskipun jumlahnya detail bisa dilihat, termasuk ada yang dari YouTube juga, jumlahnya untuk jaringan informatika sebanyak 599 sepanjang tahun 2020," ujarnya.
Lebih lanjut, pada tahun 2020 LSF juga sempat menolak film atau materi yang tidak lulus sensor sebanyak 16 judul, jumlah itu menurun dibanding tahun 2019 sebanyak 39 judul. Rommy menuturkan ada film yang perlu mendapatkan catatan khusus saat dilakukan sensor.
Ada beberapa poin yang menjadi perhatian LSF dalam mengkaji suatu film, di antaranya pornografi, harkat dan martabat, penodaan atau penistaan agama, pelanggaran hukum, serta apakah mengandung sensitivitas masyarakat, tema dewasa atau remaja, audio, dan teks terjemahan.
"Barulah nanti ditentukan penggolongan usia penonton, ada semua umur, 13 tahun ke atas, ada yang 17 tahun ke atas, ada yang 21 tahun ke atas," imbuhnya.
Selanjutnya, pada 2021, LSF akan mencanangkan uji coba Desa Sensor Mandiri. Di dalam desa tersebut, warganya ada kesadaran, ada pengetahuan untuk bagaimana menonton film dengan baik dan benar sesuai dengan klasifikasi usianya.
"Budaya sensor mandiri, diketahui sekarang kita masuk di zaman tsunami tontonan tsunami film yang tidak bisa kita bendung melalui platform apapun, bahkan sekarang anak kecil sudah dipegang gadget dari orang tuanya. Oleh karena itu menjadi perhatian LSF untuk menyampaikan ke publik tentang budaya sensor mandiri, yaitu meliterasi publik agar dapat memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia sehingga tidak sembarangan menonton apa pun yang ada di jaringan informatika," ungkapnya.
Ia menambahkan, hari ini LSF akan meluncurkan klip video Budaya Sensor Mandiri. Klip video tersebut akan disebarluaskan ke masyarakat agar lebih sadar dan mengajak masyarakat memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia. Adapun untuk jingle klip video ini, LSF berkolaborasi dengan Piyu Padi.
(yld/hri)