Wakil Ketua MPR Sebut RI Dibangun di Atas Pondasi Toleransi

Wakil Ketua MPR Sebut RI Dibangun di Atas Pondasi Toleransi

Inkana Putri - detikNews
Rabu, 27 Jan 2021 16:25 WIB
Jazilul Fawaid
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid (Foto: MPR)
Jakarta -

Isu intoleransi, kasus bullying, pemaksaan pendapat menjadi isu yang sering terjadi akhir-akhir ini. Adapun hal tersebut semakin menguat seiring meningkatnya penggunaan media sosial (medsos).

Merespons hal tersebut, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan toleransi adalah prasyarat utama berlangsungnya sebuah negara atau masyarakat yang beragam, termasuk di Indonesia. Ditambah, Indonesia berdiri dari hasil sebuah kesepakatan yang dasar utamanya adalah toleransi.

"Indonesia yang terdiri dari banyak agama, suku, adat istiadat yang berbeda-beda, bahasa, asal-usul, diperlukan pengikat. Semua itu dibangun prinsip atau prasyarat untuk menguatkan itu semua, yakni toleransi," ujar Jazilul dalam keterangannya, Rabu (27/1/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut ia menjelaskan bangsa Indonesia juga telah sepakat untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai satu semboyan nasional toleransi.

"Kita memaklumatkan, mengumumkan bahwa kita ini masyarakat yang beragam. Meskipun beragam, kita satu kesatuan. Ini pondasinya," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Hingga saat ini, Jazilul menyebut Indonesia dibangun di atas pondasi toleransi. Oleh karena itu, menurutnya kasus-kasus bersifat rasialis, penistaan agama, bullying, penghinaan asal-usul orang atau kasus intoleransi lainnya tidak semestinya muncul di Indonesia.

"Indonesia yang dibangun berdasarkan hukum, semua masyarakat harus tunduk kepada hukum. Inilah yang mengatur toleransi," katanya.

Ia mengatakan toleransi mengandung dua dimensi. Adapun dimensi pertama yakni dimensi ketidaksetujuan dengan pendapat atau pikiran orang lain.

"Kalau setuju, nggak usah ada toleransi. Justru karena kita berbeda-beda pandangan, konsep pikiran. Karena ada dimensi ketidaksetujuan satu dengan yang lainnya maka diperlukan toleransi," katanya.

Sementara itu, dimensi kedua adalah tidak memaksakan pilihan dan pikiran kepada orang lain jika terjadi perbedaan pendapat.

"Dalam semua agama atau pun negara, itu selalu ada yang disebut bibit perbedaan bahkan cara pandang yang berbeda-beda dalam satu tempat," imbuhnya.

Selain itu, ia pun menyebut munculnya sikap yang menyalahkan orang lain atau memaksakan pikiran orang lain juga bisa menyebabkan tindakan intoleran. Bahkan, hal tersebut bisa menghasilkan perbuatan ekstrem, radikal, dan terorisme.

"Kalau itu sudah aksi. Awalnya tidak setuju, kemudian di situ tidak ada toleransi, dimensi kesepahaman tidak ada, akan muncul dimensi kedua pemaksaan pendapat," katanya.

Menurut Jazilul, banyak orang seringkali memiliki pikiran ekstrem dan radikal dengan membenarkan pikirannya sendiri.

"Dia tidak mau tahu dengan pikiran yang lain. Bahkan ada kelompok yang mengkafirkan maka boleh melukai orang lain bahkan boleh membunuh di luar kelompoknya karena menurut dia, semua yang di luar kelompoknya dianggap sesat. Ini berbahaya bagi kelangsungan sebuah negara," tuturnya.

Oleh karena itu, ia menyampaikan toleransi menjadi kebutuhan mutlak dan prasyarat berdirinya sebuah negara yang majemuk.

"Tanpa toleransi tidak mungkin ada kesepakatan, dan kesepakatan itu membutuhkan toleransi," pungkasnya.

(fhs/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads