Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Surat Edaran Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 tidak dibenarkan. Sebab, SE itu mengatur dan membatasi hak asasi manusia yang sudah diatur di UU.
"Berlakunya Surat Edaran Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 yang substansinya mengatur larangan sebagaimana didalilkan para Pemohon adalah tidaklah dapat dibenarkan, karena pengenaan sanksi sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia pengaturannya harus dituangkan dalam undang-undang sebagai wujud representasi kehendak rakyat," demikian pertimbangan MK dalam putusan yang dilansir website MK, Kamis (14/1/2021).
Putusan itu dibacakan secara online lewat kanal MK di YouTube. Putusan itu diketok secara bulat oleh 9 hakim konstitusi. Majelis beralasan materi SE Menkominfo itu sudah diatur dalam UU ITE, UU Nomor 36 Tahun 1999, dan berbagai UU sektoral, baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dimuatnya aspek larangan dalam Surat Edaran tersebut pada pokoknya merupakan substansi yang telah diatur dalam UU ITE, UU Nomor 36 Tahun 1999, dan berbagai undang-undang sektoral sebagaimana diuraikan di atas," ujar MK.
Baca juga: Konsultansi Publik Aturan OTT Dibuka Kembali |
Apabila surat edaran tersebut sesuai dengan maksud dan tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada penyedia layanan OTT dan para penyelenggara telekomunikasi, maka untuk maksud dan tujuan yang demikian tersebut seharusnya substansinya dituangkan dalam peraturan pelaksana undang-undang.
"Atau, jika pembentuk undang-undang hendak mengatur secara komprehensif substansi penyiaran konvensional dan layanan OTT, termasuk perkembangan kekiniannya dalam suatu undang-undang, maka hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang sangat dimungkinkan, mengingat saat ini UU Nomor 32 Tahun 2002 telah masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024 (vide Keputusan DPR Nomor 46/DPR-RI/I/2019-2020)," ucap majelis.
"Namun demikian, berkenaan dengan surat edaran a quo yang dipersoalkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan ranah kewenangan mahkamah untuk menilainya," kata majelis.
(asp/zak)