Komisioner Sukma Violetta Harap Wewenang Nonyudisial Beralih dari MA ke KY

Komisioner Sukma Violetta Harap Wewenang Nonyudisial Beralih dari MA ke KY

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 31 Des 2020 18:23 WIB
Sukma Violetta
Sukma Violetta (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menyatakan kewenangan nonyudisial Mahkamah Agung (MA) harusnya dipindahkan ke Komisi Yudisial (KY). Sukma yang kembali terpilih menjadi komisioner KY 2020-2025 itu berharap nantinya MA hanya fokus dalam hal teknis yudisial yaitu memutus perkara semata.

Saat ini, semua urusan pengadilan berada di bawah MA atau yang dikenal dengan sistem satu atap. MA saat ini diberikan kewenangan menangani urusan yudisial (terkait kewenangan mengadili) dan nonyudisial (mengatur lembaga).

Ke depan, menurut Sukma, untuk urusan nonyudisial seperti seleksi hakim, seleksi ketua pengadilan hingga promosi hakim, seharusnya tidak lagi menjadi kewenangan MA.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harusnya sistem satu atap itu transisi sifatnya. Wewenang nonyudisial sejatinya beralih ke KY. Tapi UU paket kekuasaan kehakiman tetap mempertahankan satu atap, dan didukung UUD 1945. Basisnya apa sehingga pengaturan kehakiman kita hanya mengarah pada sistem satu atap," ungkap Sukma sebagaimana dikutip dari website KY, Kamis (31/12/2020).

Argumen Sukma dikuatkan oleh argumen mantan Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari yang dituangkan dalam buku 'Antara Komisi Yudisial dan Dewan Yudisial'. Selama ini KY mendorong RUU Jabatan Hakim (JH) dari 2016. Meskipun RUUJH ini inisiatif DPR, tetapi DPR tampak kurang antusias membahas. Tahun 2021 RUUJH rencananya akan dibahas lagi. Dengan kehadiran buku ini, KY akan memiliki basis teori hukum yang kuat.

ADVERTISEMENT

"Saya jadi pede membahas RUU JH, karena KY memiliki modal teori kuat yang saya temukan di buku ini. Terima kasih pak Aidul, untuk memperjelas langkah KY ke depan," ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi ini.

Sukma menyatakan sebenarnya posisi KY masih membingungkan. Posisinya pengawasan seperti di negara penganut sistem hukum anglo saxon, tapi sistem hukum yang dianut civil law. Dari teori di buku 'Antara Komisi Yudisial dan Dewan Yudisial', KY diproyeksi tidak hanya memiliki kewenangan terbatas seperti ini.

"Perlu ada kejelasan sistem promosi, untuk menjamin seleksi CHA mempunyai calon yang kesempatan lulusnya besar," ujarnya.

Oleh sebab itu, Sukma berharap DPR bisa menggolkan RUU Jabatan Hakim. Sebab hal itu akan memberikan harapan yang lebih baik dalam sistem yudikatif di Indonesia.

"Semoga diberikan peluang oleh DPR untuk diberikan wadah kepada KY terkait promosi hakim. Untuk menjamin seleksi CHA yang memenuhi kebutuhan MA. Selama ini KY tidak bisa memenuhi permintaan MA, karena selama ini yang memiliki syarat integritas masih kurang," harap Sukma.

Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Fahmi Ramadhan Firdaus menilai RUU Jabatan Hakim layak masuk dalam Prolegnas 2021 yang urgen. Selain RUU Jabatan Hakim, lima RUU lain yang mendesak yaitu:

1. RUU tentang Perlindungan Data Pribadi.
2. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
3. RUU Hukum Acara Perdata.
4. RUU tentang Perubahan Atas UU nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
5. RUU tentang Masyarakat Hukum Adat.

"Hendaknya di tahun depan penyusunan Prolegnas 2021 lebih menitikberatkan pada kualitas UUyang dibutuhkan masyarakat dan tidak mengejar kuantitas semata, penyusunan Prolegnas Prioritas 2021 tetap harus realistis menyesuaikan kebutuhan hukum saat ini khususnya di Masa Pandemi Covid-19," ujar Fahmi.

(asp/knv)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads